Persoalannya, kita sulit menerima kenyataan bahwa agama dijadikan alat untuk jatuhkan orang. Melawan orang yang tidak disukai. Terjadi politisasi agama. Dipolitisasi sedemikian rupa, untuk mendapatkan keuntungan politik, itu yang kita tolak."
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pengamat pemilu mengimbau agar isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dijauhkan dan dihindari, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada serentak pada 2017.

Isu SARA sering digunakan dalam politik untuk menjatuhkan lawan, termasuk dalam hajatan pilkada dan ajang kompetisi politik lainnya, ini harus dihindari.

Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk "Pilkada Sehat dan Cerdas Tanpa SARA", di Jakarta, Kamis, yang dihadiri oleh Masykurudin Hafidz dari JPPR, Sebastian Salang dari Formappi, Rumadi dari Lakpesdam PBNU, Iryanto Djou dari Apsirasi Indonesia, dan Ray Rangkuti dari LIMA Indonesia.

"Persoalannya, kita sulit menerima kenyataan bahwa agama dijadikan alat untuk jatuhkan orang. Melawan orang yang tidak disukai. Terjadi politisasi agama. Dipolitisasi sedemikian rupa, untuk mendapatkan keuntungan politik, itu yang kita tolak," tukas Rumadi dari Lakpesdam PBNU.

Menurut Rumadi, persoalan pilkada yang paling menarik adalah Pilkada Jakarta. Pilkada Jakarta ini ujian terberat terkait dengan SARA ini.

"Kalau Jakarta tahun ini bisa lolos, lalui ini semua dengan baik, saya punya optimisme ke depan Indonesia jadi lebih baik. Kalau Jakarta gagal, mungkin ada eskalasi bisa lebih buruk," ucapnya.

Kenapa ujian berat? Kata dia, karena Jakarta ini "test case" yang jadi laboratorium politik paling menarik. "Bukan saja dia (calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama) China, tapi sekaligus dia Kristen," ujarnya.

Rumadi berharap, kalau orang tidak mau pilih Ahok, jangan menjadikan keyakinan agama sebagai alasan.

"Persoalkan saja kebijakan yang dia buat. Jangan jadikan soal ke-Chinaan dia. Karena kita tak bisa pilih dilahirkan dari etnis mana. Sama saja kita persoalkan takdir Tuhan," tandasnya.

Sebastian Salang dari Formappi mengungkapkan, SARA merupakan realitas sosial yang tidak bisa dibantah. Mestinya, ini justru disyukuri, karena ini menjadi perekat sosial yang membuat suatu bangsa menjadi kelompok yang kuat.

"Jangan lupa bahwa Indonesia ini menjadi sangat menarik, sorotan dunia karena kita memiliki suku begitu banyak, terdiri dari golongan begitu banyak, beranekaragam yang semua itu adalah aset dan kekayaan yang buat Indonesia jadi indah dibanding negara lain. Seringkali membuat negara lain iri dengan apa yang kita miliki. Ini harus jadi modal sangat penting," tuturnya.

Untuk konteks DKI Jakarta, kalau dicermati perkembagnan belakangan ini, isu SARA dimanfaatkan kelompok elite. Isu ini, kata dia, tidak berkembang di masyarakat.

"Karena itu, saya yakin sekali sebetulnya, gagasan yang manfaatkan isu SARA, yang ingin dapat keuntungan dari Pilkada Jakarta, sengaja dimainkan ketika lawan tanding dianggap sulit sekali dikalahkan, misalnya, oleh gagasan, program, integritas," ujarnya.

Sebastian merujuk survei-survei yang menunjukkan bahwa masyarakat di Jakarta sangat rasional. Oleh karena itu, permainan isu SARA tidak cukup membuat masyarakat kita berubah pilihannya.

"Ada gap antara elite yang manfaatkan isu ini dengan rakyat bawah. Tugas kita ingatkan masyarakat bahwa SARA ini mainan sesaat untuk kepentingan tertentu. Setelah pilkada selesai, maka isu itu akan selesai," tambah Sebastian.

Iryanto Djou menambahkan, mengapa semua pihak harus mengawal Pilkada DKI menjadi pilkada yang cerdas? Karena seluruh porses pilkada merupakan pendidikan politik untuk publik.

"Begitu ada wacana menggangu penerapan prinsip demokrasi. Jakarta jelas barometer. Kalau Jakarta gagal, bisa bermuara pada persoalan lebih serius ke depan," ucapnya.

Adapun Ray Rangkuti dari LIMA Indonesia, mengatakan ada dua "tagline" yang dipopulerkan yang seolah-olah dianggap benar atas nama demokrasi. Dua tagline ini sedemikian masif dipopulerkan dengan gunakan demokrasi sebagai dasar. Pertama soal isu dinasti dalam demokrasi.

"Misalnya, kalau kita kritik dinasti tidak boleh lagi terjadi, mereka jawab, dinasti kan dibolehkan dalam demokrasi. Atas nama demokrasi enggak boleh orang dilarang naik," ujarnya.

Kedua soal SARA, yang mereka selalu berargumen bahwa itu diperbolehkan dalam demokrasi.

"Mereka bilang, boleh dong, kan demokrasi bolehkan saya memilih pemimpin atas dasar kepercayaan saya. Sekilas benar, demokrasi enggak boleh batasi orang ikut dalam pilkada. Boleh tidak pilih karena tidak seagama dengan saya. Seolah-olah ini benar."

"Demokrasi beri kebebasan pilih orang atas dasar apapun. Kalau isunya saya pilih karena agama sama, tidak pilih karena tidak seagama. Kalau orang tidak pilih karena agama, itu tarafnya demokrasi bawah," tuturnya.

"Tapi tentu saja agak bermasalah dalam demokrasi anda kampanyekan tidak pilih orang lain karena agama. Orang boleh memilih karena agama, etnik sama, sekolah sama. Tetapi bermasalah sekali kalau anda melarang untuk tidak pilih seseorang karena keyakinan berbeda," paparnya.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016