Kinshasa (ANTARA News) - Kepolisian Kongo pada Senin bentrok dengan pengunjung rasa--yang memprotes upaya Presiden Joseph Kabila untuk memperpanjang masa kekuasaan--sehingga mengakibatkan 17 orang tewas.

Demonstrasi yang dihadiri ribuan orang itu terjadi bersamaan dengan semakin besarnya tekanan internasional atas Kabila agar segera mundur saat periode kepresidenannya berakhir pada Desember.

Pihak oposisi menuding Kabila tengah berupaya memperpanjang kekuasaan, di negara Afrika pengekspor tembaga itu, dengan menunda pemilihan umum yang sedianya digelar pada November menjadi paling cepat tahun depan. Pendukung Kabila membantah tudingan oposisi.

"Jumlah kematian yang sangat disesalkan ini adalah 17 orang, tiga di antaranya anggota kepolisian," kata Menteri Dalam negeri Evariste Boshab yang mengecam "penggunaan kekerasan untuk menyebar kekacauan."

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon membenarkan jumlah kematian itu dan mendesak pasukan keamanan nasional Kongo untuk menahan diri.

Keterangan berbeda disampaikan oleh direktur Asosiasi Kongo untuk Akses Keadilan, Georges Kapiamba, yang menuding polisi telah menembak mati 25 demonstran.

Sementara itu pada Senin, Amerika Serikat mengancam akan memberlakukan sanksi tambahan bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan dan represi. Pada Juni lalu, Washington telah memberlakukan sanksi terbatas kepada seorang kepala kepolisian Kinshasa.

Seorang saksi dari Reuters mengaku melihat kerumunan orang membakar mayat seorang polisi di daerah suburban Limete sebagai balasan atas aksi penembakan pasukan keamanan.

Mereka juga membakar sejumlah kantor politisi yang loyal terhadap Kabila.

Kelompok pemantau melaporkan adanya penangkapan terhadap sejumlah demonstran dan wartawan di Kinshasa, Goma, dan Kisangani, kota-kota yang juga menggelar unjuk rasa.

Juru bicara pemerintah membenarkan penangkapan terhadap pemimpin oposisi Martin Fayulu yang menderita luka di kepala saat berdemonstrasi.

Menjelang sore, sebagian besar pengunjuk rasa telah dibubarkan dan jalanan kembali tenang.

Demonstrasi pada Senin merupakan reaksi atas keputusan komisi pemilihan umum yang memilih menggunakan hak konstitusionalnya untuk menunda pemilihan umum presiden.

Kongo merupakan negara yang tidak pernah mengalami transisi politik yang mulus. Para pemantau khawatir instabilitas politik di Kongo akan menjadi awal dari konflik bersenjata mengingat berkembangnya kelompok militan di wilayah timur.

Jutaan orang tewas dalam perang regional di Kongo antara 1996 sampai 2003 yang melibatkan tentara dari enam negara, Reuters melaporkan.

(G005)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016