Jakarta (ANTARA News) - Gatot Brajamusti bersama rekan tim elit melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arah musuh. Ia tengah menjalani misinya menangkap gembong narkoba Satam yang bersembunyi di kawasan kumuh Rawa Keling.

Dengan tangan kosong, Gatot juga dengan mudah melumpuhkan anak buah Satam, penjahat kelas kakap yang selalu berhasil lolos termasuk dari kepolisian Thailand dan interpol.

Di dimensi yang berbeda ini, Gatot tampil sebagai pemberantas kejahatan dalam film "D.P.O" (Detachment Police Operation). Ia memerankan tokoh Sadikin, seorang kapten tim elit kepolisian Indonesia.

Ironisnya, di dunia nyata, kehidupan Aa Gatot, begitu ia akrab disapa, berkebalikan 180 derajat dari film yang disutradarai LM. Belgant itu. Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) itu, terjerat kasus hukum karena tertangkap tangan sedang pesta sabu-sabu di Mataram, Agustus lalu.

Ia juga menghadapi tuduhan kepemilikan senjata api ilegal yang ditemukan di rumahnya, hasil pengembangan kasus penyalahgunaan narkoba yang dituduhkan kepada dirinya.

Saat "D.P.O" tayang di tiga bioskop di Jakarta, Gatot justru tengah berada di ruang tahanan Polda Nusa Tenggara Barat. Akibat kasus yang membelenggunya, Gatot tidak hadir dalam penayangan perdana "D.P.O" dan meminta tolong temannya untuk memantau penayangan film yang ia banggakan itu.

Serba tanggung

Dalam film berdurasi sekitar 1,5 jam, Sadikin dengan susah payah menangkap Satam yang diperankan oleh Toro Margens. Ia merekrut empat anggota untuk melengkapi tim elitnya.

Ada Julie yang cerdas (Nabila Putri), Ganta si playboy dan sering menebar pesona dengan lawan jenis (Afdhal Yusman), Andi yang ahli bela diri dengan senjata andalan pisau (Thomas Joseft) serta Tatang si petarung jalanan (Deswyn Pesik).

Mereka berlima menyusup ke kampung Rawa Keling tempat Satam bersembunyi. Pertarungan tak terelakkan di kampung kumuh Rawa Keling. Korban-korban banyak yang berjatuhan, baik itu warga yang tak bersalah mau pun anggota tim elit yang dipimpin Sadikin.

Sayangnya, "D.P.O" hanya menonjolkan adegan baku hantam dengan plot yang kerap di luar logika, dialog yang kadang terdengar konyol, serta akting pas-pasan.

Saat tim elit berniat menyusup ke kampung yang ditempati dengan gembong kriminal, karakter yang diperankan Gatot dan rekan-rekannya justru mengenakan kostum mencolok yang sama sekali tidak membuat mereka membaur dengan masyarakat.

Beberapa karakter utama lumayan bisa mendalami peran masing-masing. Namun, banyak para pemeran figuran terlihat sangat kaku di depan kamera. Belum lagi cara mereka mengucapkan dialog tanpa penjiwaan, seperti robot.

Misalnya, dalam satu adegan seorang karakter menemukan rekannya dalam keadaan sekarat --mulutnya berbusa-- akibat diracun. Alih-alih panik dan segera memanggil bantuan, dia hanya merespons dengan nada dan ekspresi datar.

Dibandingkan "Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita" --film Gatot yang sedang dipermasalahkan akibat dugaan pemakaian senjata api asli sebagai properti-- "D.P.O" menawarkan adegan laga yang lebih heboh.

Adegan dar der dor di film itu dipoles dengan CGI. Tetapi sungguh disayangkan efek filmnya tidak maksimal sehingga hasilnya tanggung.

Adegan yang seharusnya brutal pun jadi biasa saja dan terkesan tidak nyata. Misalnya, cipratan darah yang harusnya bisa menambah ketegangan dalam film, justru membuatnya terlihat palsu.

Tetapi ketidaksempurnaan "D.P.O" memang lebih baik dibandingkan adegan-adegan absurd di "Azrax", salah satunya ketika Azrax mencabut lampu taman semudah mencabut lilin di kue ulang tahun, atau ketika Azrax membangunkan seseorang dengan mengucapkan "cilukba".

Kontroversi

Kasus yang menimpa Gatot bagai pisau bermata dua. Skandal guru spiritual Reza Artamevia ini bisa menjadi promosi gratis untuk "D.P.O" atau justru membawa kerugian karena filmnya tidak laku.

"Sudah pasrah sekali ya dengan keadaan film ini, lagipula filmnya sudah jadi," kata produser Dhoni Ramadhan dalam penayangan "D.P.O" di Jakarta, Kamis (15/9).

Dhoni menegaskan skandal Gatot terjadi jauh setelah film "D.P.O" selesai dibuat.

Ia menambahkan apa yang menimpa Gatot adalah musibah dan merupakan urusan pribadi si pemeran utama. Polisi saat ini sedang menyelidiki apakah Gatot memakai senjata asli sebagai properti di film "Azrax".

Di film "D.P.O", baik produser dan sutradara menegaskan tidak ada senjata api yang dipakai di lokasi syuting.

Meski banyak adegan tembak-tembakan, Dhoni menegaskan semua di film "D.P.O" merupakan senjata mainan. Sutradara LM. Belgant juga tidak mengizinkan ada senjata api sungguhan.

"D.P.O" --yang sedang digarap dalam bentuk komik oleh seniman Bandung-- rencananya akan dibuat sekuelnya, namun Gatot sudah lengser dari pemeran utama.

Kekisruhan ini rupanya membuat sutradara LM. Belgant kapok bekerja sama dengan Gatot.

"Ini film pertama dan terakhir saya dengan Gatot," pungkasnya.


Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016