Jakarta (ANTARA News) - Pada Sabtu, 17 September 2016, publik kembali dikejutkan dengan kasus tangkap tangan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan menerima uang suap sebesar Rp100 juta terkait pengurusan kuota gula impor di Sumatera Barat.

Hanya dalam hitungan jam setelah peristiwa tersebut, KPK langsung menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut. Selain menetapkan Irman Gusman, penerima suap sebagai tersangka, KPK juga menetapkan Xaveriandy Sutanto (Direktur CV Semesta Berjaya) serta istrinya, Memi, pemberi suap dalam kasus tersebut, sebagai tersangka.

KPK menyatakan Xaveriandy dan Memi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf (a) atau pasal 5 ayat 1 huruf (b) atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU NO 20 Tahun 2001, juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara Irman Gusman disangkakan melanggar pasal 12 huruf (a) dan (b) atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Kasus yang melibatkan Irman Gusman tersebut cukup mengejutkan banyak pihak. Lembaga DPD yang selama ini dipandang "jauh" dari kemungkinan tersentuh kasus korupsi, ternyata juga tidak luput dari tindak pidana itu.

Kewenangan DPD yang selama dinilai sangat terbatas, nyatanya masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk "memperkaya" atau "menguntungkan" kepentingan pribadi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, sang ketua lembaga justru yang tersandung kasus itu.

Penetapan Irman Gusman sebagai tersangka di tengah-tengah perjuangan DPD untuk memperkuat kewenangannya, justru memicu munculnya kembali wacana pembubaran lembaga yang merupakan amanat reformasi itu.

Wacana tentang pembubaran DPD sebelumnya juga muncul dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I Partai Kebangkitan Bangsa di Jakarta pada awal Februari 2016 yang merekomendasikan agar DPD dibubarkan melalui amendemen UUD 1945, karena keberadaannya dinilai sangat terbatas dan tidak banyak berfungsi.

UUD 1945 hasil amendemen IV pada Sidang Tahunan MPR 2002 menyebutkan peran dan fungsi DPD, yakni dapat mengajukan kepada DPR RI rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Selain itu, DPD juga ikut membahas dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait bidang itu.

Namun, UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang sering disebut sebagai UU MD3 secara rinci menyebut fungsi, wewenang, dan tugas, sebagaimana UUD 1945.

Dalam UU ini, bila dibandingkan fungsi dan kewenangan DPR, maka peran DPD justru timpang dan tidak menentukan, padahal keduanya sama-sama merupakan lembaga negara dan keanggotaannya pun adalah hasil pilihan rakyat dalam pemilihan umum.

Wacana pembubaran DPD karena kasus penangkapan Irman Gusman ini menjadi menarik, karena dalam waktu yang sama sedang ada pembahasan amandemen UUD 1945 oleh Badan Pengkajian MPR.

MPR bisa saja mengangkat wacana penguatan atau pembubaran DPD, meski harus melalui amendemen UUD 1945 yang memiliki mekanisme ketat. Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) menyatakan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Tetapi di sisi lain, muncul pula pertanyaan, apakah adil membubarkan DPD hanya karena ketuanya terkena kasus suap? Hal itu mengingat sejak KPK berdiri 2004 lalu, sudah puluhan anggota DPR yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Selain itu, sejumlah pejabat kementerian dan lembaga, gubernur, serta bupati dan wali kota juga banyak yang ditangkap KPK.

Jika demikian, mengapa DPR atau lembaga lainnya tidak ikut diusulkan untuk dibubarkan, sementara ketika Irman Gusman menjadi anggota DPD pertama yang ditangkap KPK, kemudian muncul wacana pembubaran DPD?.

Oleh karena itu, kalaupun ada pembubaran DPD maka harus ada alasan yang jelas dan rasional, bukan sekadar sikap reaktif karena Ketua DPD menjadi tersangka kasus suap.

Penguatan DPD

Selain ada pihak yang menginginkan pembubaran DPD, namun tidak sedikit pula pihak yang menginginkan penguatan lembaga DPD, agar bisa sejajar dengan DPR karena keanggotaannya sama-sama dipilih oleh rakyat dalam pemilu.

Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Suyatno mengakui pilihan posisi DPD hanya ada dua yaitu diperkuat atau dibubarkan.

FRI prihatin karena DPD tidak punya kewenangan terutama legislasi, padahal kewenangan legislasi itu penting karena tanpa penguatan legislasimaka tidak bisa mengatur daerah dengan baik.

"Kewenangan DPD yang terbatas perlu kita dorong agar lebih kuat lagi, DPD sekarang sama seperti kita hanya memberi masukan, padahal DPD perwakilan riil dari daerah-daerah," ujarnya.

Namun penguatan DPD itu jangan diartikan pelemahan kewenangan lembaga yang lain.

FRI menyatakan sudah melakukan kajian soal amendemen selama tiga tahun dan naskah akademiknya sudah diserahkan kepada pimpinan MPR, DPR dan DPD.

DPD sendiri terus menggalang dukungan dan mencari berbagai masukan masukan dalam rangka penguatan kewenangan DPD melalui amendemen UUD 1945.

DPD berharap FRI dan para akademisi bisa ikut memikirkan sistem ketatanegaraan yang sedang diupayakan oleh DPD RI.

"Urgensi amendemen ini untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan yang tumpang tindih, serta penguatan kewenangan DPD RI, supaya kami semakin maksimal dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat," kata Wakil Ketua DPD GKR Hemas.

Selain menata sistem ketatanegaraan, amendemen juga untuk mengevaluasi pasal-pasal yang dinilai belum sempurna seperti pasal 20 ayat 2 yang berbunyi "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama".

DPD menginginkan agar lembaga itu juga turut disebut dalam membahas undang-undang, sehingga bisa mengawal aspirasi masyarakat khususnya di daerah dengan optimal.

Tidak adanya kewenangan untuk memutuskan, membuat kinerja DPD menjadi kurang terlihat di publik.

"Tidak adanya kewenangan dalam memutuskan dan hanya sebagai penyalur aspirasi, membuat kinerja DPD menjadi kurang. Karena itu, sebaik-baiknya kinerja DPD jika tidak ada kewenangan yang kuat maka percuma," ujar pakar hukum dan tata negara, Refly Harun, yang mendukung upaya penguatan DPD.

Bukan penghalang

Terkait dengan kasus yang menjerat Irman Gusman, Badan Kehormatan DPD pada Senin (19/9) telah memutuskan untuk memberhentikan Irman Gusman dari jabatannya sebagai Ketua DPD RI, karena dinilai telah melanggar etik setelah ditetapkan sebagai tersangka.

Sejumlah anggota DPD secara tegas menyatakan bahwa penetapan status tersangka terhadap Ketua DPD Irman Gusman karena kasus suap, tidak bisa dikaitkan dengan usulan penguatan kewenangan lembaganya.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris menegaskan ikhtiar untuk mengajukan usulan penguatan kewenangan DPD RI akan terus berjalan, karena sesuai amanat reformasi. Kasus Irman Gusman bukanlah penghalang untuk melaksanakan keinginan tersebut.

Sementara itu, usulan penguatan kewenangan DPD sudah disiapkan DPD sejak periode sebelumnya dan saat ini ada momentum amendemen terbatas konstitusi.

Meski munculnya kasus Irman Gusman dapat mengganggu kepercayaan publik terhadap lembaga DPD, seiring berjalannya waktu, publik diharapkan dapat mengerti bahwa kejadian ini murni urusan pribadi Irman Gusman.

Namun tentu saja kasus tersebut menjadi pelajaran berharga bagi DPD RI untuk terus melakukan evaluasi, baik secara personal keanggotaan maupun secara kelembagaan, demi mewujudkan keinginan memperbaiki masa depan DPD agar memiliki kewenangan yang lebih besar, khususnya dalam proses pembuatan undang-undang. 

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016