Jakarta (ANTARA News) - Lagi-lagi, "dwelling time", "dwelling time" lagi-lagi. Adalah Presiden Joko Widodo yang mengangkat isu yang satu ini ke permukaan dan membetot perhatian publik. Sejurus kemudian, wawancara "live" bertopik "dwelling time" (DT) dengan menghadirkan berbagai pengamatpun digelar di stasiun-stasiun televisi dan radio. Juga, artikel-artikel tentang DT bertebaran di berbagai media cetak.

Setahun lalu, Presiden pernah pula menyentil masalah DT. Tidak lama setelah itu publik menyaksikan "drama" DT yang lumayan seru. Diawali dengan penggeledahan ruangan kerja salah satu petinggi Kementerian Perdagangan yang diduga melakukan "tindak pidana" DT oleh pihak Kepolisian RI, lalu berlanjut dengan penggeledahan ruangan petinggi BUMN Pelabuhan di Tanjung Priok dengan dugaan yang hampir sama. Publik umumnya mengetahui bagaimana akhir ceritanya.

Sentilan Presiden terhadap DT yang terbaru disampaikan beberapa waktu lalu ketika meresmikan Terminal Kalibaru di Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan suara bergetar Presiden mengatakan "Di Belawan coba, cara main-main seperti itu sudah tidak bisa lagi. Ada delapan crane, yang dijalankan hanya satu crane untuk tawar-menawar saja. Tidak bisa seperti itu".

Lantas, apa sesungguhnya makna DT? Menurut Bank Dunia, definisi "dwelling time" adalah "the measure of the time elapsed from the time cargo arrives in the port to the time the goods leave the port premises after all permits and clearances have been obtained". Jadi, DT terkait dengan proses pengurusan dokumen.

Kalau disebut DT tinggi, itu berarti proses pengurusan dokumen masih memakan waktu yang relatif lama, bukan lamanya proses bongkar-muat.


Salah kaprah

Apa yang disampaikan oleh Presiden itu menarik dikomentari karena berpeluang mengaburkan makna asasi DT yang lazim dipahami oleh komunitas pelabuhan global. Dalam bahasa lain, telah terjadi salah kaprah.

Di mana letak salah kaprahnya? Pertama, DT tidak bersangkut-paut dengan alat bongkar-muat (B/M), dalam hal ini crane. Sayangnya Presiden tidak secara spesifik menyebut crane mana yang ia maksud.

Alat B/M di terminal peti kemas yang biasa disebut crane ada dua, yaitu "quay-side container crane" dan "rubber-tired gantry crane". Jika kedua alat tersebut yang dimaksud oleh Presiden sebagai pemicu tingginya DT di Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar dan Tanjung Perak Surabaya, maka rasanya kurang tepat.

Ambil contoh quay container crane (QCC), pengoperasiannya sudah disesuaikan dengan standar yang berlaku umum di dunia kepelabuhanan, yaitu 27-30 boks/jam/crane.

Rasanya hampir tidak mungkin terjadi sogok-menyogok di sini, mengingat ini merupakan indikator utama kinerja sebuah pelabuhan dan terkait erat dengan "waiting time" (WT) kapal. WT adalah masa tunggu kapal sebelum bersandar di dermaga pelabuhan. Pelabuhan yang baik, WTnya rendah. Operator pelabuhan (Pelindo) mengetahu hal ini dengan amat baik.

Sementara RTG, alat B/M ini berada di lapangan penumpukan peti kemas atau container yard (CY) dan dipergunakan untuk lift-off dan lift-on peti kemas yang diangkut oleh head truck dari pinggir dermaga.

Kembali, sulit diterima akal sehat bila pada titik ini terjadi sogok-menyogok. Pasalnya, operator RTG hanya menurunkan peti kemas (lift-off) yang seluruhnya belum memiliki dokumen impor. Bila pengurusan dokumen impor (Pemberitahuan Impor Barang/PIB) ini selesai, sang operator akan menaikkan (lift-on) peti kemas ke atas truk yang akan membawanya keluar area pelabuhan menuju shippernya.


Restrukturisasi tata kelola

Di Pelabuhan Belawan, Makassar, dan Tanjung Perak lamanya DT disebut-sebut lebih dari tiga hari (yang terbaik adalah DT Pelabuhan Tanjung Priok yang hanya dua hari lebih sedikit).

Untuk menekan DT yang masih tinggi di tiga pelabuhan tersebut Presiden Joko Widodo lalu memerintahkan Kapolri menangkap oknum yang menghambat DT di pelabuhan sebagai kebijakan untuk menekan DT yang masih tinggi itu.

Kepolisian RI sebetulnya tidak asing dengan pelabuhan. Instansi ini punya satuan setingkat Polsek atau Polres -- tergantung status pelabuhannya -- di seluruh pelabuhan di Tanah Air yang dikenal dengan nama Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3).

Dengan perintah Presiden kepada Kapolri tadi, kehadiran Polri di pelabuhan sepertinya akan semakin masif. Dan, tak terhindarkan pelabuhanpun terkesan angker jadinya, terutama di mata publik internasional.

Masalah di pelabuhan-pelabuhan nasional bukanlah masalah keamanan, melainkan masalah tata kelola. Karenanya, menyelesaikan persoalan DT adalah dengan melakukan restrukturisasi tata kelola pelabuhan, bukan dengan memperbesar kehadiran Polisi.

Kita perlu restrukturisasi ini agar manakala ditanyakan siapa sesungguhnya yang menjadi penanggungjawab utama di pelabuhan? Kita memiliki jawaban yang spesifik.

DT hanya gejala penyakit, bukan penyakit sesungguhnya. "Jangan sampai buruk DT, pelabuhan dibelah".

*)Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

(A015/S025)

Oleh Siswanto Rusdi*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016