Beijing (ANTARA News) - Agenda prioritas China untuk masalah suku di Tibet adalah melawan pengaruh Dalai Lama, kata pemimpin Partai Komunis di wilayah itu.

Ia menegaskan, semua kegiatan biksu itu akan dianggap "pemberontakan" dan "merongrong".

Pejabat di Bejing mengatakan, pasukan Komunis membebaskan Tibet pada 1950, tetapi menyebut biksu Buddha peraih Nobel Perdamaian itu sebagai pemberontak.

Dalai Lama, yang kini terasing, mengatakan memperjuangkan otonomi asli untuk kampung halamannya di Pegunungan Himalaya itu.

Kementerian Luar Negeri China tampak geram dan mengancam akan melawan bulan ini setelah pemimpin spiritual Tibet berbicara di depan Parlemen Eropa, Prancis.

"Pertama, kami akan meningkatkan perlawanan terhadap pengaruh Dalai Lama, hal itu merupakan prioritas tertinggi dalam isu etnis di Tibet, sementara misi jangka panjangnya, memperkuat kesatuan etnis di wilayah tersebut," kata sekretaris partai di Tibet, Wu Yinjie dalam pidato yang diterbitkan harian pemerintah, "Tibet Daily", Jumat.

"Kita harus menentang aksi reaksioner Dalai Lama ke-14, melawan segala kegiatan separatis dan subversif, serta menghapus akar pengaruhnya yang membahayakan kesatuan etnis," kata Wu.

Penghormatan masyarakat terhadap Dalai Lama yang melarikan diri dari China pada 1959 karena pemberontakan gagal, telah dilarang di Tibet. Meski secara diam-diam, banyak warga Tibet memuja sosoknya dan memajang fotonya di rumah.

Wu akan membuat kebijakan keras di wilayah mayoritas penganut Buddha yang kerap mengalami pemberontakan anti-China.

Wu ditunjuk sebagai pimpinan wilayah Tibet akhir Agustus lalu, dan ia berjanji akan bersikap keras terhadap Dalai Lama.

Pemerintah menyangkal kritik dari pegiat hak dan para pelarian politik. Mereka menilai pemerintah China membatasi hak religius dan budaya warga Tibet.

Namun pemerintah berdalih pihaknya telah menyejahterakan rakyat tertinggal di Tibet.

Masalah lain pemerintah China di Tibet diantaranya, kemiskinan, hambatan bahasa, dan program pembangunan yang tak sesuai dengan tradisi penggembala.

Rakyat Tibet sempat diakui sebagai kelompok minoritas China pada 1956, dan mendapat jaminan perlindungan hukum atas bahasa serta budayanya.

Namun, mereka kerap dipinggirkan dan dicurigai otoritas di Beijing yang beranggapan rakyat Tibet berpotensi separatis.

Otoritas menilai, pembelajaran bahasa Mandarin bagi kelompok minoritas mampu menjamin kesatuan nasional serta membuka peluang ekonomi.

Akan tetapi, ada semacam penolakan terhadap pembelajaran bahasa Mandarin untuk sekolah di Tibet. Masyarakat setempat khawatir, pemerintah mengasimilasi budayanya. Namun, pemerintah China menyangkal dugaan itu.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016