Bogor (ANTARA News) - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Elias mengatakan Pemberantasan korupsi sektor kehutanan lebih efektif dan efisien dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

"Sejak 1972 praktek korupsi dalam pengelolaan hutan Indonesia sudah terjadi, ini harus dicegah karena tidak sesuai dengan kode etik rimbawan juga untuk menjaga hutan tetap lestari," katanya dalam jumpa wartawan praorasi guru besar di Kampus IPB Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Menurutnya, perilaku kolutif dan koruptif dalam pengelolaan hutan mengakibatkan pemanfaatkan hutan yang bersifat eksploitatif yang menjadi akar masalah pengelolaan hutan alam tropika yang tidak lestari.

Praktek korupsi yang sering terjadi selama ini di antaranya, pemberian izin JPT yang mengakibatkan overcutting dan kelangkaan jenis. Manipulasi data volume dan jenis kayu produksi, pembayaran DR dan PSDH. Melaksanakan pemanenan kayu tanpa rencana dan menggunakan tenaga kerja terampil.

Pratek berikutnya, tidak melakukan kewajiban pembinaan hutan, dan melakukan cuci mangkok atau re-logging di areal yang sudah dipanen.

"Fakta sering terjadi korupsi dalam pengurusan hutan Indonesia, membuat pemerintah kehilangan US$ 2 miliar atau sekitar Rp25 triliun pada tahun 2006 karena ilegal logging, korupsi dan kesalahan pengelolaan," katanya.

Ia menyebutkan, pemberantasan korupsi selama ini dilakukan dengan low enforcement dan pembentukan KPK, pendidikan korupsi sejak dini, dan agama.

Menurutnya, pemberantasan korupsi dalam pengelolan hutan lebih efektig dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan yang memanfaatkan informasi teknologi dengan aplikasi bank data, dan dapat diakses ecara online.

"Pada saat ini Kementerian LHK sudah mempunyai sistem pelaporan online SIPHAO dan SIPUHH," katanya.

Ia menjelaskan, sejak 1972 hutan alam tropika Indonesia mulai dikelola oleh para pemegang HPH dengan sistem silvikultur TPI/TPTI. Pemanfaatan hutan waktu itu menghasilkan devisai besa, namun dibalik itu para pengusaha HPH tidak melaksanakan pedoman TPI/TPTI dan lebih mengutamakan pemanfaatan hutan eksploitatif dan menjadi rent seekers.

"Akibatnya pengelolaan hutan alam tropika Indonesia yang dilakukan selama ini tidak lestari. Menimbulkan dampak, terjadinya deforestasi tinggi, kebangkrutan pengusaha hutan, penurunan produktivitas hutan, limbah pemanenan kayu yang sangat tinggi, penurunan keanekaragaman jenis dan penurunan simpanan karbon hutan," katanya.

Menurut Prof Elias, sudah ada inovasi yang mampu menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan hutan alam tropika lestari dan pemanenan kayu ramah lingkungan. Inovasi tersebut merupakan kombinasi penerapan IPTEK pemanenan kayu ramah lingkungan yang disebut teknologi RIL (Reduced Impact Logging) dan prinsip pengolahan hutan alam lestari disebut konsep RIL, serta penerapan teknologi informasi dengan aplikasi bank data yang dapat diakses secara online.

"Transformasi ekploitasi hutan menjadi pemanenan ramah lingkungan ada empat unsur," katanya.

Empat unsur tersebut yakni penggunaan konsep RIL dalam penetuan JPT, penggunaan teknologi RIL dalam pelaksanaan pemanenan kayu, transparansi sistem pengelolaan hutan dan penggunaan teknologi informasi.

Ia mengatakan, penerapan konsep dan teknologi RIL dengan kombinasi teknologi informasi yang menggunakan aplikasi bank data dan sistem online akan menghasilkan, transparansi data dan informasi dasar kondisi hutan dan lapangan, transparansi perhitungan JPT, transparansi pelaksana tata usaha kayu, serta transparansi sistem manajemen dan pengendalian.

"Saya merekomendasikan Kementerian LHK menetapkan penerapan RIL sebagai program nasional dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutam alam tropika lestari di Indonesia," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016