Jakarta (ANTARA News) - Mengembangkan industri gas di Indonesia tidak lebih mudah dari minyak walau secara fungsi gas lebih efisien dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi, kata Wakil Presiden Liquefied Natural Gas (LNG) PT Pertamina Didik Sasongko.

"Secara pasti yang membuat industri gas kurang maksimal berkembang adalah masih banyak infrastruktur yang harus disiapkan," kata Didik dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan manfaat gas LNG sebenarnya lebih bagus ketimbang LPG karena lebih berisiko rendah. Secara fisik, LNG lebih ringan, sehingga jika terjadi kebocoran gas akan ke atas (menguap), tidak bersifat membakar ke bawah seperti LPG.

Selain itu, sambung Didik, proyeksi infrastruktur masih tumpang tindih dengan belum adanya perencanaan yang matang agar mudah dan rapi secara desain.

Kemudian upaya pembebasan lahan juga menjadi kendala dalam perluasan distribusi gas melalui pipa sehingga Master plan perlu dimatangkan guna menyesuaikan permintaan pasar, kata Didik.

Regulasi juga menjadi kendala dalam mekanisme pasar. Seperti pengaruh harga dengan harga minyak mentah yang jarak marginnya harus diatur dengan wajar, juga pengaruh nilai tukar terhadap dolar AS masih menjadi risiko tinggi.

Komitmen pasokan gas untuk mampu memenuhi permintaan harus berjangka empat sampai lima tahun, guna membangun infrastruktur yang sesuai, namun kepastian jangka panjang susah didapatkan.

Didik menjelaskan, jangka waktu persiapan yang diterima untuk menata waktu pengembangan permintaan pasar masih menjadi tantangan tersendiri mengingat banyak tempat yang meminta namun masih memiliki infrastruktur yang belum memadai.

"Membangun infrastruktur di Jakarta untuk jaringan pipa itu sama mahalnya dengan membangun jaringan di daerah Ginza, Tokyo, di mana daerah tersebut saat ini memperoleh predikat sebagai harga tanah yang paling tinggi di dunia. Kenapa bisa seperti itu? saya juga tidak tahu, nanti bisa timbul fitnah," tutup Didik.


Pewarta: Afut Syafril
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016