Jakarta (ANTARA News) - Buni Yani, pemilik akun SBY (Si Buni Yani) di Facebook, akhir pekan lalu dilaporkan ke Polda Metro oleh Jaya Kelompok relawan Kotak Adja (Komunitas Muda Ahok Djarot). Buni Yani yang ditemui Antaranews pada Minggu malam (9/10) memberikan penjelasan perihal kasus tersebut.

Tanya (T): Bagaimana perkembangan kasus anda pasca-pelaporan ke pihak kepolisian?
Jawab (J): Perkembangannya sejak Jumat, saya sudah dilaporkan atas pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sudah masuk ke polisi. Kita menunggu. Sebagai warga negara yang baik kalau saya dipanggil, menghadap akan menjelaskan apa maksud dari unggahan video saya.

T: Sudah ada panggilan dari polisi sejauh ini?
J: Belum.

T: Banyak simpatisan yang menawarkan diri menjadi pengacara. Apakah anda sudah menunjuk kuasa hukum untuk kasus ini?
J: Sudah. Saya sudah mendapatkan pengacara. Saya memberikan kuasa kepada kawan-kawan dari Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) DKI Jakarta. Saya memilih mereka untuk mendampingi saya menghadapi pelaporan ini. Dan itu organisasi profesi advokat sebetulnya. Menurut saya mereka yang tepat untuk mendampingi, karena mereka nonpolitis dan nonsektarian. Ada Muslimnya, Kristen, Budha, Hindu, ya betul-betul merepresentasikan kebhinekaan Indonesia.

T: HAMI pimpinan siapa?
J: Pak Aldwin Rahadian.

T: Kalau menurut anda, apakah anda pantas dipolisikan atas tindakan mengunggah video tersebut?
J: kalau melihat kontennya sih mau dilihat dari mana. Coba kita belajar logika sedikit. Mestinya, yang dipersoalkan itu adalah orang yang ngomong, yang menyinggung hal-hal sensitif di dalamnya. Tetapi kenapa, orang yang menyebarkannya yang dipersoalkan. Jadi sekarang ini posisi saya itu seolah-olah saya yang salah. Makanya saya bilang, logikanya jangan dibalik. 
Mestinya, isi dalam video itulah yang berbicara sensitif, yang menyinggung orang lain, itulah yang dipersoalkan. Sama sekali tidak masuk akal. Kebetulan saya dosen, mengajar soal UU ITE segala macam.
Jadi, mau dari sudut mana. Bahwa orang yang menyebarkan konten-konten, yang memprovokasi pornografi itu, tapi apa iya saya memprovokasi?! Memang ada konten sensitif kok. Ada orang ngomong enggak bener, kemudian saya menyampaikannya, nah yang engga benar itu yang sana atau yang sini. 
Nah, ini harus jelas dong logikanya bagaimana. Kok malah org yang menyebarkan yang mau dikriminalisasi. Tidak masuk akal.

T: Kalau ada yang menganggap video itu menyebarkan isu SARA (suku agama ras antargolongan), bagaimana tanggapan anda?
J: Apakah saya menyebarkan isu SARA?! Kalau yang dianggap itu saya, itu menjadi lucu. Yang SARA itu adalah orang yang ada di dalam video. Yang SARA adalah orang yang cenderung untuk menista ayat-ayat yang ada di dalam sebuah kitab suci, lalu kemudian itu mempunyai potensi untuk menyulut kemarahan orang. Itulah yang SARA. 
Saya inikan mantan wartawan. Kemudian saya menjadi peneliti media. Saya mengerti yang begitu-begitu. Jadi, sekarang ini orang dimain-mainkan logikanya. Jangan karena urusan politik, itu semua dibolak-balik. Sekarang seperti saya, mengajar di kelas sama dengan ketika saya membuat status Facebook. Kalau status Facebook itu membuat orang menjadi cerdas dan pintar. Lalu kemudian apakah itu yang kemudian menyulit SARA?! Orang saya berniat baik kok, saya dosen, peneliti.

T: Apakah anda pengunggah dan penyebar pertama video itu?
J: Bukan.

T: Bagaimana kronologi diunggahnya video itu hingga akhirnya menjadi viral?
J: Jadi, ceritanya ada video sekitar satu setengah jam, itu di upload di website pemda kalau tidak salah, kemudian kan bisa didownload. Lalu ada orang yang memotong video satu setengah jam itu menjadi 30 detik ucapan yang sangat kontroversial itu. Dipotong, bukan diedit, jadi jangan salah. Kalau mengedit itu kan kandungan videonya lebih terang lalu digelapkan, ada suara lalu dihilangkan. Kalau ini memotong bagian yang paling kontroversial itu yang diambil 30 detik itu. Itu kemudian beredar kan. 
Nah, Kamis malam Jumat, saya pulang habis mengajar, kemudian saya lihat Facebook. Nah, di timeline saya keluar itu video. Wah ini kontroversial sekali, sensitif. Kemudian saya playback berulang-ulang. Lalu saya download, kemudian saya transkrip. Setelah itu saya upload ke Facebook. Kemudian menjadi viral.
Sebetulnya, sebelumnya juga sudah viral. Jadi saya bukan yang pertama. Lalu saya yang dituduh kemana-mana. Katanya saya yang memelintir, saya yang membuatnya menjadi viral. Jadi, orang tidak bertanya ke saya. 
Saya dosen kok, saya tidak punya kepentingan politik. Saya ingin mengedukasi masyarakat, bahwa ada loh pejabat publik yang menyentuh soal sensitif, itu enggak boleh. Dia ngomong saja apa programnya, yang sudah dikerjakan. Ini ngomong soal kitab suci yang dia enggak paham.

T: Jadi tujuan mengunggah video itu?
J: Mengedukasi masyarakat biar mereka tahu bahwa sesungguhnya jangan ada pejabat publik yang mempunyai kebiasaan menyinggung hal sensitif. Itukan kandungan videonya ada penistaan agama. Itu kan enggak bagus. Apa iya pejabat publik boleh begitu?!

T: Sekarang video yang diunggah sudah menjadi isu besar, bagaimana tanggapan anda?
J: Ya itulah teknologi saat ini, cepat sekali viral kemana-mana. Dan sekarang sudah dibawa ke ranah hukum. Ya, tidak apa-apa. Inikan bagian dari demokrasi. Orang boleh menuduh saya macam-macam, tapi saya sudah menjelaskan, bahwa saya ini tidak mempunyai afiliasi politik. Saya ini peneliti, dosen. Lalu, tidak usah mencari-cari orang yang salah itu di sini. 
Saya ini berniat baik ingin mendidik masyarakat, bahwa ya jangan begini pejabat publik. Saya bayar pajak kok tiap bulan, gaji saya dipotong. Sebagai warga negara saya berhak dong mendapatkan pemimpin yang mempunyai sikap yang bagus, mempunyai sensitifitas yang tinggi biar tidak mengutak-atik kepercayaan orang. Itukan demokrasi.

T: Penyelesaian yang bagaimana yang anda harapkan dari kasus ini?
J: Sebagusnya tidak usah dibawa ke ranah hukum. Kan saya bisa menjelaskan. Latar belakang saya jurnalisme, thesis saya di Amerika soal jurnalisme. Saya bisa menjelaskan dari ilmu linguistik, dari ilmu lain-lain. 
Mereka tahu kualifikasi saya. Terus kepentingan saya apa mau melintir-melintir, memang saya mau masuk penjara?! Saya bodoh banget kalau seperti itu, orang saya sudah baca kok UU ITE, UU Penyiaran, UU Pers. Itu tidak masuk akal. Nah, sekarang saya yang digebrak-gebrak.

T: Apa betul videonya sempat dihapus dari Facebook anda?
J: Tidak dihapus, tapi saya lock. Di wallinya Guntur (Romli) atau Nong (Darol Mahmada) atau mungkin pendukung pertahana juga, malam-malam itu kita berdebat. Lalu salah satu pendukung Guntur bilang, bisa tidak video itu dihapus?! Karena itu dianggap tidak baik. Kemudian saya lock dulu.

T: Sebelum dilock, apakah video tersebut sudah banyak yang membagikan atau share?
J: Sudah banyak sekali. Ada ribuan.

T: Kenapa dilock?
J: Saya lock untuk menghormati orang yang keberatan. Kemudian saya dibilang pengecut yang katanya saya hapus. Saya tidak menghapus, itu saya lock. Dan kemudian sekarang saya buka lagi. Sekarang saya sudah dilaporkan ke polisi. Mau dilock atau tidak kan sudah dilaporkan. Saya sesalkan, kan saya bisa menjelaskan kok malah dibawa ke persoalan hukum.

T: Ada isu beredar anda pernah menyebarkan formulir dukungan terhadap salah satu calon. Bagaimana tanggapan anda?
J: Itu memang ada. Banyak yang saya share di Facebook itu dan tidak saya hapal apa saja yang saya share. Ada berita yang bagus saya share. Ada yang bagus dari Agus Harimurti saya share. Ada yang menarik dari pertahana, saya share. Ada yang dari pasangan Anies juga saya share. Makanya ketika saya ditanya soal form segala macam itu saya tidak bisa jawab. Karena saya sudah lupa apa saja yang saya share. Bahwa sekarang yang dipersoalkan video, ya saya ingat pernah share itu.

T: Kalau aktivitas di luar media sosial, pernah tidak menyebarkan formulir dukungan terhadap salah satu calon?
J: Tidak.

T: Kalau hati anda sendiri condong kemana?
J: Nah, setiap orang kan mempunyai kecenderungan. Saya itu, dengan salah satu pasangan gubernur itu mempunya kedekatan. Kalau itu betul. Anies Baswedan itu tamatan University of Merryland. Itu di pinggir kota Washington. Kemudian, Sandiaga Uno itu tamatan George Washington University. Nah, saya tamatan Ohio tapi pernah kerja dan tinggal di Washington setahun. Jadi, kami punya grup, namanya alumni Washington. Jadi kalau ada halal bi halal di rumah mas Anies saya datang, saya main ke rumah mas Sandi. Itu betul. Itukan silaturahmi. Siapapun boleh dong. Nah, sekarang kalau itu dikaitkan dengan posisi akademik saya itu tidak relevan. Ya saya baik sama Anies, sama Sandi, memang mempunyai kedekatan. Tapi, kalau lalu saya dituduh mempunyai afiliasi politik ini, itu tidak betul. Kalau mempunyai kedekatan, iya. Tetapi tetap posisi saya sebagai seorang peneliti dan dosen.

T: Apakah kedekatan atau kecenderungan itu mempengaruhi sikap politik anda?
J: Kecenderungan itu, kita harus melihat secara objektif dari tiga pasangan. Yang satu begini, yang dua begini, yang tiga begini. Kalau kita anggap pasangan yang bersangkutan yang paling capable, punya rekam jejak yang bagus, mempunyai pendidikan yang tinggi, sopan, sensitif, enggak suka maki-maki orang, kenapa tidak kita menjatuhkan pilihan ke dia. Kan kita engga milih orang duluan, kita milih kriteria dulu. Berdasarkan kriteria itulah lalu kita menjatuhkan pilihan ke salah satu calon. Nah, kalau ternyata jatuh ke salah satu itu, apakah saya salah juga?! Bahwa saya sudah memahami persoalan politik ini dengan cara objektif. Itulah pilihan rasional. Bukan berdasarkan pokoknya Anies-Sandi, ya kalau pokoknya ya itu salah. Tapi berangkat dari kriteria.

T: KTP anda tercatat sebagai warga mana?
J: KTP saya Depok.

T: Kalau ada yang mau mempertemukan anda dengan calon pertahana Bapak Basuki Tjahaja Purnama, apakah anda bersedia?
J: Tujuannya apa kalau bertemu. Dalam rangka apa?

T: Misalnya untuk mengklarifikasi kasus ini?
J: Ya tinggal lihat saja wawancara saya di televisi, tidak perlu datang. Ada semuanya di sana. Rekaman ini juga bisa dia tonton. Kalau ada hal substansial, yang membuat saya harus bertemu ya bertemu. Kalau tidak ada ya tidak ada.

T: Ada yang mau disampaikan ke Pak Basuki Tjahaja Purnama?
J: Ini saja, saya inikan dosen, peneliti, kepentingan saya adalah kepentingan umum. Masyarakat kita inikan masih banyak yang perlu dididik. Pak Gubernur itu harus lebih sensitif sedikit. Tidak usah lagi ungkit-ungkit hal yang dia kurang paham. Tidak usah lagi ungkit-ungkit hal yang sensitif, ini untuk kebaikan kita bersama. Dalam bertindak, dalam berbicara, itu harus lebih sensitif lagi. Kemudian kita menjadi sejuk, kita juga enak.

T: Bagaimana soal riwayat hidup anda?
J: Saya lahir di Lombok, 16 Mei 1969. Lulus S1 dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Udayana, Bali, Tahun 1993. Kemudian, mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Ohio University dan lulus pada 2002. Saat ini saya sedang membuat desertasi S3 di Leiden University, Belanda, sejak 2010 dan belum selesai.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016