Pondok pesantren diharapkan terus meningkatkan fungsinya sebagai penjaga keberimanan umat mengingat para santri sekarang semangat belajarnya tak seperti generasi sebelumnya dikarenakan berbagai hal.

Ke depan penting bagi pondok pesantren (ponpes) harus lebih fokus pada pengembangan kurikulum yang mampu mencetak ulama. Caranya adalah dengan menjadikan "tafaqquh fiddin" (mendalami ilmu agama) sebagai inti dari tugas pokoknya.

Hanya dengan pengembangan tafaqquh fiddin inilah akan lahir ulama yang alim dan dibutuhkan masyarakat. Apa pun yang dikembangkan pesantren, ujungnya harus mengarah pada tafaqquh fiddin.

Penyebab semangat belajar santri mengendur di berbagai ponpes bisa jadi dikarenakan cara belajar yang dihadapi sehari-hari kurang menarik. Bisa pula masih rendahnya kesadaran santri itu sendiri akan pentingnya menuntut ilmu. Mereka merasa kurang motivasi karena lingkungan setempat kurang mendukung. Masih banyak lagi penyebabnya jika ditelaah.

Santri kini patut bersyukur karena Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam 2 tahun pemerintahannya telah memberikan perhatian besar terhadap lembaga pendidikan Islam tersebut. Kedatangan Jokowi ke Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo--lebih dikenal dengan Pondok Modern Gontor--adalah salah satu ikhtiar agar para santri tetap getol belajar. Tugas santri adalah belajar dan belajar.

Ulama Makin Langka
Imbauan agar para santri getol belajar sangat logis. Pasalnya, Indonesia tidak bisa lagi berbangga sebagai negara pemeluk Islam terbesar bila ulama makin langka. Kalaupun ada, hanya sedikit di antara para ulama yang pendapatnya dapat dijadikan rujukan. Ulama yang dapat dijadikan teladan dan diikuti masyarakat jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari.

Para santri ke depan diharapkan dapat menjadi ulama. Sayangnya, lulusan ponpes setelah mendapat tempat di hati masyarakat lebih tertarik ke bidang politik. Menjadi anggota partai tertentu atau bekerja menjadi birokrat. Memang pilihan santri setelah lulus di berbagai profesi adalah haknya masing-masing.

Namun, patut direnungkan bahwa mencetak ulama bukan seperti pekerjaan membalik sebelah tangan. Melahirkan ulama tidak seperti memindahkan atau menggandakan uang yang dikerjakan Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dikagumi santri (eh, pengikut) di padepokannya.

Seorang lulusan sekolah agama atau santri tidak dapat langsung disebut ulama bila yang bersangkutan tidak memenuhi kompetensi maksimal dari ilmu agama.

Hadirnya ulama di muka bumi ini sangat penting. Ulama menjalankan fungsinya sebagai penjaga kemurnian ajaran Islam sehingga tidak terjadi penyimpangan atau distorsi dari ajaran Islam itu sendiri.

Ulama adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengawasi dan mengoreksi kesalahan atau penyimpangan yang muncul. Tanpa ada mereka pasti banyak kesalahan atau distorsi ajaran Islam yang akan terjadi ungkap ustaz Arifuddin, Lc. dari Langkat, Sumatera Utara.

Para ulama dalam melaksanakan fungsinya juga bertindak sebagai penyemangat (spirit) pelaksanaan ajaran Islam secara komprehensif. Ulama menjadi motivator dan contoh dalam praktik ajaran Islam. Terlebih lagi, bila dia memiliki karisma kuat yang lahir dari integritas pribadi dan komitmennya terhadap Islam. Maka, kehadirannya betul-betul merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak.

Lantas, siapakah yang disebut ahli agama Islam itu?

Arifuddin menyebutnya orang yang disebut ahli dalam agama Islam bila yang bersangkutan ahli dalam bidang Alquran dan ilmu-ilmunya, ilmu hadis, akidah, fiqh, ushul fiqh, siroh Nabawiyah, sejarah Islam, bahasa Arab, dan ilmu-ilmunya.

Semua itu merupakan ilmu-ilmu dasar yang dapat membentuk struktur ilmiah dalam diri seseorang yang akan menjadi ulama. Masing-masing ilmu ini dapat diperinci lagi sehingga dalam tingkat lanjut seseorang dapat saja memilih spesialisasi sebagai ulama ahli (mutakhassis) salah satu disiplin Ilmu tersebut. Bisa saja kemudian seorang ulama terkenal keahliannya dalam bidang Alquran dan tafsir atau hadis dan ulumul hadis, fiqh, dan ushul fiqh maupun ilmu-ilmu bahasa Arab.

Pada masa lampau ada beberapa ulama yang dapat menggabungkan keseluruhan spesialisasi tersebut. Mereka dapat dikatakan sebagai ulama ensiklopedis atau samudra ilmu pengetahuan Islam.

Bahkan, ada di antara para ulama yang mempunyai tambahan kemampuan ilmiah di luar bidang ilmu agama Islam. Contohnya seperti Imam Ghozali dan Ibnu Taimiyah. Pada masa sekarang, sulit untuk mendapatkan ulama sekaliber mereka.

Orang Pintar Kebilinger
"Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama." (H.R. ath-Thabarani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman dari Abu Darda).

Wafatnya ulama bencana bagi alam semesta. Cahaya akan menghilangkan kegelapan. Ketika cahaya telah padam, kondisinya akan kembali gelap. Ulama ibarat cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan. Ketika ulama diwafatkan oleh Allah satu per satu, itu menunjukkan bahwa terangnya cahaya akan meredup. Seiring dengan berjalannya waktu, cahaya akan benar-benar redup, hingga kehidupan akan menjadi gelap dari ilmu.

Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, di antaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehingga dapat menyesatkan umat, ungkap Farid Al Mashri dalam sebuah laman Embun Hati.

"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hamba-Nya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh. Mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu. Maka, mereka sesat dan menyesatkan." (H.R. Bukhari No. 100).

Kendatipun telah banyak kiai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya kiai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, harapan umat Islam adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Imam al-Ghazali dari Imam Ali bin Abi Thalib Ra berkata: "Jika satu ulama wafat, ada sebuah lubang dalam Islam yang tidak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya."

Dari penjelasan tersebut, dampak dari kelangkaan ulama dengan tanda-tandanya di negeri ini sudah terasa. Relatif banyak orang yang mengaku dirinya sebagai "orang pintar keblinger", lalu menjadikannya tempat bertanya lantaran orang bersangkutan punya keahlian "lebih". Orang yang bertanya menjadi "gelap hati" dan keimanannya menjadi goyah.

Kasus banyaknya orang menjadi pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah salah satu contoh aktual. Masyarakat dari strata sosial beragam: intelektual, birokrat, pengusaha, hingga warga berpenghasilan pas-pasan dapat diperdaya dengan iming-iming dapat penggandaan uang. Hati para pengikut padepokan pimpinan Taat Pribadi nyata-nyata telah "gelap" lantaran: ingin cepat kaya dan tamak. Mereka "sakit" dan butuh pencerahan tauhid dan akidah.

Tampilnya penegak hukum meringkus Dimas Kanjeng dan menyelesaikan kasus pidana penggandaan atau pengadaan uang, termasuk menerima sejumlah pengaduan pengikutnya dari berbagai daerah, patut diacungi jempol. Meski kasus masih berproses, setidaknya telah membuka mata masyarakat untuk memetik hikmah dari kasus tersebut.

Kasus-kasus serupa masih ada. Bisa jadi dalam bentuk kemasan lain dengan diselubungi aroma agama. Dari realitas itu tentu saja dalam menghadapi kenyataan tersebut, kehadiran ulama sangat penting.

Jangan Setengah Hati
Upaya pemerintah (Kementerian Agama) mendorong lembaga pendidikan Islam guna meningkatkan kualitasnya agar santri tertarik menjadi ahli agama (ulama) tidak boleh dilakukan setengah hati. Apalagi, seluruh lembaga pendidikan Islam kini memiliki kedudukan yang sama. Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menempatkan madrasah dan ponpes setara dengan pendidikan umum.

Penyelenggaraan pendidikan wajib mengindahkan prinsip: pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Maka, jelas lembaga pendidikan agama tidak bisa lagi dipandang dengan sebelah mata.

Jasa para kiai (ulama) sangat besar atas negara ini. Selayaknya para kiai, ustaz, dan para guru ngaji diberi apresiasi karena bersedia mengabdi untuk mengembangkan pesantren hingga daerah perbatasan.

Pesantren dengan para kiai dan santrinya merupakan pejuang kemerdekaan dan penjaga keutuhan NKRI. Dalam bidang pendidikan, pesantren merupakan ujung tombak pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Melahirkan kiai atau ahli agama (ulama) melalui ponpes memang tidak mudah. Akan tetapi, ikhtiar wajib dilakukan, misalnya memberikan beasiswa kepada para santri.

Ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo, di Masjid Istiqlal, Kamis (22/10/2015), merupakan bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Hari Santri Nasonal yang kemudian diperingati setiap tanggal 22 Oktober tidak bisa dilepaskan dari resolusi jihad para ulama. Hal itu juga merupakan bukti bahwa Umat Islam Indonesia selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan negeri ini. Tanpa adanya resolusi jihad NU itu, bisa jadi negeri ini masih terjajah oleh sekutu yang saat itu ingin menguasai kembali Indonesia setelah mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia II.

Selamat Hari Santri Nasional.


Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016