Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menjelaskan mengenai kronologi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (E-KTP) 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Anggaran itu kan dibahas, bahkan sebelum diajukan, dibahas dulu di tempat wakil presiden (Boediono) bersama Bu Sri Mulyani juga. Jadi, kalau ada yang bilang Bu Sri Mulyani tidak ikut, itu bohong," kata Gamawan di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Gamawan sebelumnya diperiksa pada 12 Oktober 2016. Ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada 2009-2014, sedangkan Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan pada 2005-2010, selanjutnya Sri Mulyani menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia pada 2010-2016.

"Pertama rapat itu di tempat Wapres, dibahas ada Menkeu, Bappenas, dan menteri-menteri terkait. Lalu saya meminta kalau bisa jangan Kemendagri yang mengerjakan ini. Saya kan orang daerah, tidak tahu seluk beluk Jakarta seperti itu," ungkap Gamawan.

Karena itu setelah Rincian Anggaran Biaya (RAB) disusun, Gamawan mengaku agar RAD itu diaudit oleh Badan Pengawan Keuangan Pembangunan (BPKP).

"Selesai diaudit BPKP, saya bawa ke KPK, saya presentasikan di KPK lagi. Saran KPK saat itu, coba didampingi oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)," tambah Gamawan.

Gamawan bahkan mengaku pendampingan kerja juga dilakukan BPKP baru dimulai tender terbuka dengan masih didampingi LKPP, BPKP dan 15 kementerian.

"Malah saya tidak ikut, setelah itu tender, panitia lapor ke kami. Lalu saya minta, apa kalian sudah yakin ini benar? Benar kata mereka, dan bertanggung jawab. Saya belum yakin, saya kirim lagi berkasnya ke BPKP, untuk diaudit kemudian diaudit dua bulan oleh BPKP," jelas Gamawan.

Sebelum kontrak ditandatangani, Gamawan mengirim lagi kontrak ke KPK Polri, dan Kejagung.

"Kalau informasinya tidak ada KKN, bagaimana kami batalkan kontrak? Karena itu saya minta tolong ke KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Jadi, saya sudah sungguh-sungguh. Hanya sampai sekarang belum dijawab firm oleh KPK."

"Bagaimana kita mau tahu, terus diperiksa setiap tahun oleh BPK, lalu BPK memeriksa lagi dengan tujuan tertentu, tidak pernah ada temuan sampai sekarang tapi tiba-tiba, saya dapat kabar ada kerugian Rp1,1 triliun," ungkap Gamawan.

Menurut Gamawan, pengawasan sudah dilakukann secara ketat misalnya satuan harga diaudit oleh BPKP baru diberikan ke Kemendagri dan didampingi pula oleh BPKP dan LKPP.

"Kemudian saya presentasi lagi di KPK lalu ada dua saran KPK, didampingi LKPP, saya tambah malah sama BPKP."

"Kedua tender secara elektronik padahal waktu itu kita belum siap tender elektronik, kita kejarlah persiapan 15 hari. Maka ditender elektronik didampingi LKPP, terus juga sama BPKP. Sampai akhir tidak pernah ada temuan. Jadi saya commit dua kali diaudit BPKP, tiga kali diperiksa BPK, sampai terakhir tidak pernah ada temuan," tegas Gamawan.

Tersangka dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Dukcapil Irman yang juga Kuasa Pengguna Anggaran proyek pengadaan E-KTP dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen proyek E-KTP Sugiharto.

Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP itu adalah Rp2 triliun karena penggelembungan harga dari total nilai anggaran sebesar Rp6 triliun.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016