Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama dua tahun ini dinilai lambat dalam melakukan reformasi hukum, namun hal itu karena masih adanya warisan para pejabat yang memimpin di lingkungan peradilan kebanyakan orang-orang jahat.

"Praktik dunia peradilan kini masih banyak yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme membuktikan kebenaran pendapat para pengamat bahwa pemerintahan Jokowi tidak mudah melakukan reformasi hukum selama masih adanya pejabat lama yang bercokol dalam pemerintahannya," kata anggota Hakim Agung, Topane Gayus Lumbuun, dalam diskusi hukum, dua tahun pemerintahan Jokowi - JK di Jakarta, Kamis.

Gayus yang mengutip pendapat Jeffry Winter, pengamat politik dan hukum dari Northwestern AS menyebutkan, ketika Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden RI ke-6, Jefry mengatakan, reformasi memang berhasil membawa Indonesia sebagai negara cukup demokratis, namun sayangnya tidak diikuti oleh penguatan pada reformasi hukum, sehingga jika hal itu tidak dilaksankan maka akan mewarisi pada pemerintahan berikutnya.

Oleh karenanya, kata Gayus, pendapat itu membuktikan kondisi kini bahwa belum berjalannya reformasi hukum seperti yang disampaikan Jokowi dalam Nawa Citanya, karena masih banyak orang-orang jahat yang kini masih berada di lingkup kekuasaan khususnya di kalangan pengadilan," katanya.

Diskusi Dua Tahun Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang dilaksanakan oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dengan tema, "2 Tahun Pemerintahan Jokowi - JK Mengembalikan Marwah Indonesia Sebagai Negara Hukum Kilas Balik Mandegnya Nawa Cita Bidang Hukum."

Diskusi yang diikuti oleh para dekan Fakultas Hukum, mahasiwa dan pengamat itu menampilkan empat pembicara, Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, dari Hakim Agung Mahkamah Agung, Prof. Dr. Saldi Isra, guru besar Universitas Andalas, Prof. Dr. Faisal Santiago, Direktur Program Pasca, Universitas Borobudur Jakarta, dan pengamat ekonomi dan politik, Dr, Ichsanuddin Noorsi, dengan moderator wartawan utama dari Antara.

Menurut Gayus, indeks penegakan hukum di Indonesia masih sangat rendah yaitu berada di tingkat 52 dari 102 negara dunia yang dilakukan survei. Oleh karenanya, setelah sukses melakukan berbagai program ekonomi, termasuk meluncurkan Tax Amnesti, Presiden Jokowi - JK akan mulai masuk mereformasi bidang hukum dalam pemberantasan korupsi dan pungutan liar yang masih menjamur di negara Indonesia.

"Jangan dilihat kecilnya nilai pungutan liar itu, tetapi hadirnya Jokowi dalam penangkapan Pungli di lingkungan Departemen Perhubungan belum lama ini hanya memberikan sinyal bahwa dia akan mulai masuk membereskan pungli-pungli itu karena untuk yang korupsi sudah didelegasikan ke lembaga KPK," kata Gayus yang juga mantan Komisi III DPR itu.

Senada dengan itu, Prof. Saldi Isra, mengatakan, tidak mudah mengukur keberhasilan Jokowi dalam melakukan reformasi bidang hukum selama dua tahun pemerintahannya, karena antara hukum dan ekonomi sangat berbeda.

Program ekonomi mudah dapat dilihat indikator dan keberhasilannya, namun untuk hukum tidak cukup jika hanya dilihat selama dua tahun berjalan ini.

Tetapi, kata Saldi, selama dua tahun, Joko Widodo dan Jusuf Kalla memipin, belum ada indikator yang mengarah pada refomasi hukum secara jelas. Mungkin saja pada tahun ketiga ini beliau akan serius dan akan kita lihat hasilnya akhir tahun nanti.

Prof. Saldi juga mengatakan, pada tahun pertama, Jokowi sibuk melakukan konsolidasi politik ke DPR guna meningkatkan dukungannya, tahun kedua menyasar sektor ekonomi, karena itu pada tahun ke tiga ini mari kita tagih janjinya yang dimuat dalam Nawa Cita itu agar segera diwujudkan.

"Terus terang saja, program hukum di Nawa Cita sangat rinci dibading program hukum Presiden sebelumnya, namun jika hal itu tidak dilaksanakan, maka akan terjadi sama saja, bahwa indonesia akan gagal membangun budaya hukum, atau legal culture yang masih mandeg," katanya.

Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016