Bandung (ANTARA News) - Perenang paralimpik, Dean Uli Siringo-ringo (22), semula tak bisa berdamai dengan air. Rasa takutnya sedemikian besar pada zat cair itu.

Pertemuannya dengan sang pelatih yang merupakan mantan atlet renang asal Sumatera Utara, Brian Howard, memberinya daya juang untuk menaklukkan rasa takutnya dan menjadi atlet renang.

"Bisanya berenang itu saat dilatih sama coach Brian. Sama sekali takut sama air dan enggak tahu berenang sama sekali. Tetapi, karena peluang sangat besar, saya berusaha bisa renang," ujar dia saat ditemui di kawasan Cihampelas, Bandung, Sabtu.

Brian (31), dalam kesempatan yang sama mengatakan melihat niat keras dalam diri Dean menjadi atlet renang, sekalipun dihantui ketakutan pada air. Sejak Mei 2016, dia pun mempersiapkan Dean tampil di ajang Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV/2016 Jawa Barat, ajang paralimpik pertama Dean.

"Dean awalnya takut sama air, tetapi saya lihat karena memang dia niat. Kalau bakat sih mungkin ya ada tetapi enggak terlalu berbakat. Hanya dia niat. Dia pekerja keras, juga yang saya bangga itu tidak menyusahkan orang lain," tutur dia.

Sebagai seorang tuna netra, perempuan yang juga mahasiswi jurusan ilmu politik di Universitas Sumatera Utara (USU) itu tak menampik kesulitan yang kerap mampir di hari-hari awal latihannya hingga menjelang Peparnas.

"Susah pasti. Karena saya tuna netra, buta total. Sangat sulit mendapat info. Misalnya soal gerakan. Kita harus meraba gerakannya. Teknik yang benar itu, walau enggak sempurna," kata dia. 

Kali pertama, Dean harus berjibaku di kolam dengan kedalaman 1,8 meter, mempelajari teknik pernafasan, teknik renang dan sebagainya, sesuai arahan Brian dan tim. Dia masih ingat kala itu harus menggunakan semacam stik, yang biasanya digunakan anak-anak saat belajar renang.

"Pertama kali enggak bisa berenang, dikasih stik. Stik itu kan untuk anak kecil. Tetapi ya harus itu. Pertama kali ada kak Yuni (sesama atlet paralimpik). Kak Yuni kan bisa berenang, ketakutan, aku pegang kakak itu," kata Dean.
  
"Aku yakin, ada coach. Jadi enggak bakalan dibiarin lah. Kebetulan coach-nya mau turun ke kolam. Walaupun agak-agak enggak yakin juga. Karena takut. Aku merasa kalau saat ada jadwal latihan renang itu, hari terakhirku," sambung dia seraya tertawa malu.

Disiplin mengikuti  program yang diberikan sang pelatih sejak Mei 2016, Dean memberikan kejutan. Tampil di tiga nomor sekaligus, Dean membawa tiga medali, yakni emas di nomor 100 meter gaya dada S9 putri dan perak di nomor 50 meter gaya dada S9 putri serta di nomor 50 meter gaya bebas S11 putri dengan catatan waktu 50,28 detik.

"Aku diajarin dua gaya, sebenarnya ada tiga. Hanya di Peparnas, kupu-kupu putri tidak dipertandingkan. Dada dan bebas. This is my first time. Enggak kebayang dapat satu emas dan dua perak. Makanya terharu," ungkap perempuan berambut lurus itu.

"Kalaupun aku ada rasa dag dig dug, aku mensiasatinya dengan senyum saja. Biar tidak ngerasa berat. Enggak munafik juga, ada rasa beban, aduh lama kali melewati lintasan (pertandingan). Tetapi senyum saja biar ringan. Setelah di akhir enggak lagi ada apa-apa," kata Dean.
 
Kejutan pun dia berikan pada sang bunda yang sempat menemaninya di masa awal pertandingan.  "Terharu. Aku enggak menyangka, kata mama. Bisa ya coach mu membuatmu bisa berenang. Aku saja tak tahu apa bakatmu, kata mama, lagi," ujar Dean.

Dean membuktikan, penyakit campak yang merenggut penglihatannya saat dirinya masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar tak serta membuat hidupnya hancur.  Dia sukses menunjukkan pada masyarakat seorang tuna netra mampu berprestasi.


Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016