... sekali itu soal kedaulatan NKRI, tidak ada sopan-sopan diplomasi."
Jakarta (ANTARA News) - Perhatian Pemerintah Indonesia kepada Papua dan Papua Barat dalam dua tahun administrasi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (Jokowi-JK) terus ditingkatkan. Selain melalui pembangunan fisik yang terus digenjot, Presiden Jokowi juga menunjukkan perhatiannya melalui kunjungan kerja ke Papua.

Terhitung sudah empat kali Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Papua sejak menjabat sebagai Kepala Negara dan Pemerintah RI pada Oktober 2014. Kunjungan paling akhir dilakukannya pada 17 Oktober 2016, dengan agenda utama peresmian enam proyek pembangkit listrik sekaligus menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) tunggal secara nasional untuk Papua dan Papua Barat.

Namun, dua tahun pemerintahan Jokowi-Kalla tampaknya belum memberikan jaminan kestabilan dan keamanan bagi kesejahteraan masyarakat Papua.

Meningkatnya perhatian yang diberikan Presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia rupanya belum melunakkan hati seluruh masyarakat Papua, terutama kelompok separatis yang semakin gencar menyerang Indonesia di forum internasional.

Peristiwa terakhir tentang serangan diplomatik oleh negara lain terkait kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas Papua terjadi pada sesi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-71 di Markas PBB New York pada 24 September 2016.

Sebanyak enam pemimpin negara kawasan Pasifik, yakni Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva, Presiden Nauru Baron Waqa, Presiden Kepulauan Marshall Hilda Heine dan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga mengajukan pernyataan yang mengusik kedaulatan NKRI atas Papua.

Bahkan, mereka berenam menuduh adanya aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara sistematis yang dilakukan Pemerintah Indonesia di Papua.

Menanggapi pernyataan "keroyokan" enam negara yang menunjuk Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare sebagai juru bicara itu, tampil diplomat muda Nara Rakhmatia, Sekretaris Kedua Perwakilan Tetap RI (PTRI) di PBB, New York.



Ia menyampaikan ketegasan sikap Indonesia bahwa Papua bagian dari NKRI. Nara menyebut pernyataan keenam pemimpin negara tersebut menunjukkan pelanggaran prinsip Piagam PBB dengan ikut campur urusan dalam negeri dan melanggar kedaulatan negara lain, yakni Republik Indonesia.

Pernyataan yang dibacakan Nara itu ditutup dengan ungkapan dalam Bahasa Indonesia bahwa jika satu jari menunjuk pihak lain, maka sesungguhnya jempol orang itu sedang menunjuk dirinya sendiri.

Hak jawab yang disampaikan Nara hanya berdurasi sekira lima menit, namun menjadi buah bibir, baik di media nasional, maupun internasional, bahkan menjadi viral di media sosial.

Khususnya di Indonesia, tidak sedikit media yang tidak saja mengulas isi pernyataan Indonesia tentang Papua, tapi juga fakta bahwa Nara merupakan diplomat muda Kementerian Luar Negeri sekaligus perempuan belia yang tegas dalam bersikap untuk negara dan bangsanya.

Terlepas dari fakta bahwa sisi kepentingan kemanusiaan Nara yang sangat menarik sebagai bahan berita, maka esensi bahwa pernyataannya menunjukkan Indonesia masih punya masalah dalam politik luar negerinya, terutama soal pandangan negara-negara Pasifik terhadap kedaulatan RI atas Papua, tampaknya terlupakan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Christiawan Nasir mengemukakan bahwa Nara menyampaikan tanggapan itu semata-mata karena sikap tegas Indonesia kepada negara mana pun yang mengusik kedaulatan NKRI.

Terkait orang yang menyampaikannya, Arrmantha menegaskan bahwa Nara adalah diplomat Indonesia yang dididik dan dilatih sejak awal, sebagaimana diplomat Kemlu RI lainnya, baik perempuan maupun laki-laki, untuk senantiasa membela kepentingan Indonesia kapan pun dan di mana pun.

"NKRI bagi diplomat kita adalah harga mati. Tidak ada lagi kawasan Indonesia yang bisa dipertanyakan di forum apapun, kecuali yang berada dalam negosiasi perbatasan," kata diplomat karir yang turut serta sebagai anggota Delegasi RI pada Sidang Umum PBB 2016.

Arrmanatha mengatakan bahwa semua tuduhan kepada Indonesia yang disampaikan enam negara Pasifik tersebut tidak berdasar karena faktanya Indonesia adalah negara demokratis yang senantiasa memperjuangkan HAM di ASEAN dan dunia.

Indonesia juga telah meratifikasi delapan dari sembilan konvensi utama HAM PBB, dan Indonesia memiliki Komisi Nasional (Komnas) HAM sejak 1993.

Dalam pernyataan Nara, Indonesia juga menilai keenam pemimpin negara itu salah tempat karena sesi Sidang Umum PBB saat itu tengah membahas Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan upaya internasional untuk mengatasi tantangan, seperti pemanasan global dan terorisme, dalam mencapai target tersebut.

Namun, keenam negara tersebut malah menyampaikan pernyataan yang tidak benar mengenai Papua dan salah satu negara, bahkan secara langsung mempertanyakan kedaulatan RI terhadap Papua.

Terkait kadar kepatutan dari pernyataan yang disampaikan seorang diplomat muda untuk menjawab enam pemimpin negara, Arrmanatha mengatakan Indonesia sudah mengantisipasi akan adanya pernyataan dari beberapa negara terkait Papua dalam Sidang Umum PBB.

Oleh karena itu, semua delegasi Indonesia dipersiapkan sejak jauh-jauh hari untuk tegas dengan sikap pemerintah Indonesia dan saat itu diplomat yang bertugas adalah Nara.

Arrmanatha menegaskan diplomat Indonesia selalu siap membela kedaulatan Indonesia di forum internasional sehingga anggapan bahwa Papua adalah salah satu kelengahan dalam diplomasi Indonesia sangatlah tidak benar. Apalagi, Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) Kemlu RI senantiasa menggembleng (drilling) para kader diplomatnya.

"Anda dapat bertanya pada diplomat termuda yang ada di sini, bahwa drilling di Sesdilu kita diajari diplomasi yang sopan, tidak menyakiti, tapi sekali itu soal kedaulatan NKRI, tidak ada sopan-sopan diplomasi," kata alumni University of Buckingham dan University of Leicester, Inggris, itu.

Tuduhan kepada Indonesia tentang Papua di forum PBB yang disanggah oleh Nara bukanlah kejadian pertama, karena kejadian serupa terjadi pada Sidang Umum PBB 2015. Namun, saat itu hanya Kepulauan Solomon yang menyerang Indonesia dengan tuduhan yang sama, yakni soal pelanggaran HAM di Papua.

Untuk menanggapi kritikan itu, Delegasi Indonesia menugasi Sekretaris Kedua PTRI New York Nona Gae Luna, posisi yang kini ditempati Nara Rakhmatia.

Jawaban Nona saat itu pada prinsipnya sama dengan yang disampaikan Nara, yang menekankan kedaulatan NKRI atas Papua, dan upaya Pemerintah RI untuk terus meningkatkan penegakan HAM di dalam negeri, termasuk di Papua dan Papua Barat.

Bagi khalayak umum di Indonesia, tampilnya Nara Rakhmatia dan Nona Gae Luna menjadi contoh diplomat muda yang membela kedaulatan Indonesia atas Papua di kancah internasional.

Namun, perlu diingat pula bahwa para diplomat muda yang tampil di PBB itu merupakan bagian dari keluarga besar awak Kemlu, baik yang di Indonesia maupun yang tersebar di 132 perwakilan RI di dunia dalam menjaga nama baik dan memperjuangkan kepentingan Indonesia.

Upaya Nara, Nona, dan Delegasi Indonesia membela kedaulatan RI atas Papua di forum PBB juga merupakan kesatuan dari upaya-upaya diplomatik yang dilakukan secara konsisten di kawasan Pasifik.

Salah satunya, pada Juli 2016 lalu, Delegasi Indonesia yang dipimpin Direktur Jenderal Kerja Sama Asia-Pasifik (Aspasaf) Desra Percaya, berhasil menggagalkan upaya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) yang menghimpun kerja sama negara-negara Melanesia di Pasifik.

ULMWP merupakan kelompok separatis Papua yang terus gencar mengampanyekan pemisahan Papua dari Indonesia di luar negeri karena mereka menganggap Pemerintah RI yang berkuasa telah melakukan pelanggaran HAM dan menganaktirikan Papua dari wilayah lain.

Kelompok itu berupaya memperkuat aksinya dengan membuka membuka kantor perwakilan di luar negeri, terutama di negara-negara Pasifik, antara lain Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu.

Kampanye hitam ULMWP akhir-akhir ini juga makin gencar melalui media sosial dengan mengedarkan gambar-gambar yang berisi kebohongan, salah satunya, foto perwakilan ULMWP bersama Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon yang diklaim sebagai pertemuan khusus untuk menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua Barat.

Bantahan atas klaim sepihak ULMWP itu disampaikan langsung oleh Juru Bicara Sesjen PBB Stephane Dujarric pada Juni 2016 bahwa Sesjen PBB Ban Ki-Moon tidak pernah bertemu secara khusus dengan tokoh ULMWP. Dujarric juga mengatakan bahwa Sesjen PBB tidak pernah menerima dokumen dari ULMWP tentang laporan pelanggaran HAM di Papua.

Dalam dua tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Arrmanatha mengatakan, Indonesia semakin mengintensifkan upaya membalikkan kebohongan-kebohongan yang disebarkan kelompok separatis Papua dengan menunjukkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Upaya itu, dikemukakannya, termasuk mengundang awak media dari kawasan Pasifik untuk berkunjung dan meliput situasi di Papua.

Oleh karena itu, Indonesia punya kepentingan besar di negara-negara Pasifik dalam menggalang dukungan luar negeri terhadap fakta-fakta yang dilakukan pemerintah dalam membangun Papua dan kawasan Timur Indonesia, di mana mayoritas ras Melanesia Indonesia tinggal di sana.

Jumlah ras Melanesia di Indonesia sangat signifikan, yakni mencapai 11 juta jiwa yang tersebar di Papua dan Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kepulauan Maluku.

Menurut Peneliti Bidang Politik Luar Negeri Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth, upaya untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional dalam mempertahankan kedaulatan atas Papua harus dilakukan melalui pendekatan dari dalam dan luar negeri.

Pertama, Pemerintah Indonesia harus merealisasikan janji untuk menyejahterakan Papua melalui pembangunan fisik maupun nonfisik, seperti pendidikan dan layanan kesehatan. Kedua, pendekatan diplomatik di kawasan Pasifik perlu ditingkatkan, tanpa mengabaikan perhatian ke negara lain, mengingat ULMWP memiliki banyak jaringan di berbagai negara.

"Kita lihat kenapa Papua Nugini tidak melihat isu ini, karena mereka tetangga terdekat kita dan melihat sendiri perkembangan di Papua, jadi menjaga hubungan baik dengan para tetangga di Pasifik ini sangat penting," kata Adriana.

Sebagai upaya untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara di Pasifik, Presiden Jokowi juga telah menunjuk Duta Besar Djauhari Oratmangun sebagai utusan khusus pemerintah Indonesia di kawasan tersebut, sehingga diharapkan komunikasi Indonesia dengan pemerintah serta rakyat negara-negara Pasifik akan semakin intensif.

Upaya menjalin hubungan baik dengan negara-negara Pasifik juga tampak ketika Indonesia dengan sigap mengirimkan bantuan kepada Fiji saat Badai Winston menghantam negara tersebut pada Februari 2016.

Indonesia tidak hanya memberikan bantuan logistik, tetapi juga dalam proses rehabilitasi, dan puluhan anggota zeni tempur Tentara Nasional Indonesia (Zipur TNI) tetap tinggal di sana guna membantu pembangunan kembali fasilitas umum, seperti di sekolah dan unit kesehatan.

Upaya merawat dan menjaga hubungan baik dengan negara-negara di Pasifik itu bukanlah proses instan yang hasilnya bisa langsung dirasakan. Pemerintah Indonesia melalui para diplomatnya harus memupuknya secara terus-menerus, hingga suatu hari, saat negara membutuhkan dukungan, hasilnya akan tampak. Apakah para tetangga itu akan memberikan dukungan mereka, atau setidaknya tidak ikut-ikutan menyerang Indonesia.

Tidak hanya di Pasifik, tugas membina hubungan baik dengan negara lain itu juga harus dilakukan oleh para diplomat RI di seluruh dunia, tentunya tanpa melupakan peran semua Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri sebagai second track diplomacy melalui prinsip politik bebas-aktif.

Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016