Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo meluncurkan gebrakan dengan membuat harga BBM di Papua sama dengan di Jawa. Tidak hanya itu, presiden Jokowi membuat gebrakan listrik terang Papua.

Bupati Boven Digoel, Benediktus Tambonop mengungkap sejumlah kendala dalam mewujudkan gebrakan presiden tersebut.

Kabupaten Boven Digoel berbatasan langsung dengan Papua Nugini dengan panjang perbatasan 200km, dan terdiri dari 112 kampung/ desa dan 20 kecamatan yang menurut Benediktus masih sangat jauh dari kata terang.

"Sekitar 14 persen yang baru bisa dikatakan terang atau sekitar 94 kampung yang belum terang," kata dia dalam diskusi "Energi Kita" yang membahas "Formulasi Listrik dan BBM Wilayah Perbatasan", di Gedung Dewan Pers Jakarta, Minggu.

"Itu karena geografis yang begitu luas sehingga konsentrasi masyarakat dalam berdomilisi sangat jauh, jadi ada kendala butuh jaringan yang begitu panjang untuk sampai ke pelosok daerah," sambung dia.

Selain itu, Benediktus mengungkapkan sarana dan prasarana yang dinilai masih kurang menjadi kendala dalam membangun fasilitas kelistrikan.

"Masih tergantung dengan listrik dengan diesel dan tergantung dengan minyak sehingga masih sangat mengharapkan bantuan pemerintah pusat," ujar dia.

Bupati Boven Digoel sudah merencanakan pada 2017 untuk terus meningkatkan sumber daya listrik lewat tenaga air dan tenaga surya dengan memanfaatkan sungai.

Untuk BBM, Benediktus mengatakan saat ini harga relatif murah Rp 6000 per liter. BBM murah kini juga dirasakan oleh masyarakat di wilayah perbatasan lainnya, Kalimatan Utara, yang merupakan propinsi baru hasil pemekaran Kalimantan Timur.

Menurut gubernur Kaltara Irianto Lambrie, masyarakat propinsi yang berbatasan dengan Malaysia tersebut kini dapat menikmati harga BBM bersubsidi. Dia mengatakan dulu masyarakat terpaksa membeli Rp 12.500 per liter.

"Saya senang Bapak Presiden mencanangkan satu harga BBM, tapi tidak mudah praktek di lapangan," ujar Irianto.

Dia mengatakan saat ini ibu kota propinsi hanya memiliki satu SPBU. Hal tersebut mengakibatkan antrian berkilo-kilo meter pada momen-momen tertentu.

Distribusi dan pengadaan BBM, menurut Irianto, belum merata. Demikian pula dengan listrik. Dia mengatakan Kaltara menghadapi krisis listrik, padahal Kaltara pengekspor batu bara hebat.

"Sangat ironi di Kalimantan, batu bara 95 persen diekspor. Kami krisis listrik sementara negara lain menikmati listrik dari batu bara kami," kata Irianto.

Dia melihat kebijakan pemerintah belum menyentuh hal tersebut. Ke depan, dia mengatakan, Kaltara bercita-cita menjadi propinsi energi berbasis konservasi dengan memanfaatkan sungai yang ditaksir mampu menghasilkan 20.000 megawatt, bahkan hingga 90.000 megawatt.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016