Bandung (ANTARA News) -  Pembawaan yang tenang, tak banyak bicara, bertubuh atletis dan muda, begitulah sosok Brian Howard (31), pelatih tim atlet renang paralimpik Sumatera Utara yang mencuri perhatian banyak orang sepanjang penyelenggaraan Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV/2016 Jawa Barat di kota Bandung.

Di sela pertandingan renang yang berlangsung di kolam renang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sejak 17 - 22 Oktober, pria yang merupakan mantan perenang nasional itu harus meladani puluhan penggemar mulai dari atlet hingga panitia yang memintanya berfoto bersama.

Kepopuleran Brian seakan menjadi lengkap saat dirinya sukses mengantarkan tim renangnya meraih dua emas, empat perak dan satu perunggu di kejuaraan nasional khusus atlet berkebutuhan khusus itu.   

ANTARA News berkesempatan berbicang-bincang singkat dengan Brian sesuai pertandingan renang berakhir di 22 Oktober lalu. Berikut petikan wawancara yang dilakukan pada 23 Oktober:

Sejak kapan memutuskan menjadi pelatih renang?
Saya baru pertama kali membawa atlet berkebutuhan khusus ke Perparnas.
Yang saya lakukan adalah saya akan berusaha lebih bagus dari pencapaian empat tahun lalu, satu emas dan tiga perak. Tahun ini dua emas, empat perak, satu perunggu. Saya bersyukur dalam hal ini.

Saya selain di Peparnas, juga bawa atlet normal ke PON di open water swim.  

Karir saya sebagai pelatih dimulai di 2015 awal Januari. Saya melatih sampai saat ini hampir dua tahun. Persiapan atlet untuk PON sekitar satu tahun 9 bulan. Peparnas ini saya di seleksi dulu, baru bulan Mei, mulai melatih.


Mengapa akhirnya melatih tim renang paralimpik ?
Ada satu atlet yang memiliki keterbatasan pendengaran dan bicara, dia masuk bulan 10 di tahun lalu. Pertama saya latih, dia punya keterbatasan sekaligus kelebihan. Dia bisa dikatakan tekun.

Pada 2016, ada seleksi pelatih. Itu untuk paralimpik nasional, di Propinsi Sumatera Utara. Saya ikut. Saya diseleksi sebagai kepala pelatih di cabang renang.

Di sini, saya sebenarnya awalnya tidak ada niat melatih untuk paralimpik. Tetapi, karena saya memang sebagai pelatih, karir awal saya sebagai atlet renang. Saya mau coba bisa enggak sih saya melatih yang memiliki keterbatasan.

Untuk perkembangan atlet di Sumatera Utara. Di mana saya bisa membantu. Banyak juga pihak yang mungkin lihat kok bawa dua, tetapi target saya adalah anak-anak ini bisa berprestasi. Mau siapapun itu sebagai kepala pelatih, kalau memang atlet bisa menerima program pelatihan dengan baik, umumnya bisa berprestasi.

Berapa orang atlet paralimpik yang anda latih di Peparnas 2016?
Untuk atlet-atlet paralimpik, saya latih enam orang, satu orang tuna netra, satu tuna daksa, tiga atlet tuna rungu, satu lagi low vision (batas melihat enam meter).

Bagaimana anda melatih mereka yang memiliki keterbatasan?  Adakah perbedaan dari program latihan atau lainnya? Apa kendalanya?
Dari sisi program hampir sama (antara atlet normal dan berkebutuhan khusus). Bedanya di keterbatasan masing-masing. Mereka yang tak punya tangan misalnya, tidak secepat yang punya tangan, sehingga program yang kami berikan contohnya 1.000 meter, dia bisa jalanin paling 60-70 persen.

Dean kan tuna netra total. Otomatis dari keseimbangan dia sudah beda, dari yang normal, sehingga apa yang dia kerjakan enggak bisa memaksakan dia full 100 persen program. Misalnya 1000 meter, dia bisanya 500 meter saja.

Jadi, dari enam itu yang saya latih, awalnya satu minggu pertama memang menemui kesulitan. Tuna netra, keseimbangan badan dia 80 persen hilang. Berenang itu, pasti miring ke kanan.

Untuk melatih keseimbangan dia, saya menggunakan tali, supaya dia meraba tali ke tangannya, setiap kali dia mendayuh, sehingga dia bisa miring lagi ke kiri. Saat latihan tali harus dipasang, wajib. Kalau pertandingan di buka talinya.

Persiapan fisik juga harus diperhatikan, tinggal keterbatasan fisik yang tidak bisa dia maksimalkan.

Lalu, ada low vision, apa yang saya suruh lihat itu dia enggak paham. Lalu, tuna rungu, menjelaskannya itu, gampang, tetapi mereka enggak bisa menyerap kami 100 persen. Misalnya, kami sampaikan program A, dia bisa menyerap 70-80 persen. Kalau dia mau maksimal, kami harus pelan-pelan sekali.

Lalu, tuna daksa, kendala enggak bisa jalan 100 persen program. Karena tubuh dia ada satu yang enggak ada. Kakinya patah atau polio.

Setelah jalan ke dua minggu, sedikit saya lebih mudah, karena mereka sudah lebih paham. Mulai masuk ketiga dan empat, sudah jauh lebih mudah. Saya gabungkan mereka ke atlet normal, sehingga treatment yang mereka rasakan sama dengan yang saya berikan pada atlet normal.

Saya punya target ke depan, kalau mereka bisa melanjutkan programnya, ya, ke depannya akan lebih bagus lagi.  

Menurut anda apa kelebihan atlet paralimpik?  Lalu bagaimana posisi mereka dibandingkan atlet di luar negeri?
Bagi atlet difabel, mereka punya motivasi khusus. Dia punya niat lebih untuk berprestasi dari kita yang normal.

Kalau pelatih di daerah mau mengembangkan atlet yang memiliki keterbatasan, saya rasa pasti bisa jauh lebih bagus hasilnya dari sekarang. Kembali lagi ke pusat pelatihan NPC pusat.

Di daerah sendiri, cukup bagus. Biasanya programnya akan terus berlanjut, tinggal atlet mengembangkan prestasi sendiri. Di daerah, ada yang menerapkan program jangka panjang.

Perlu sosialisasi, bahwa atlet keterbatasan itu bisa berprestasi di kejuaraan nasional misalnya. Program jangka panjang baru diterapkan atlet, sehingga atlet terbina terus.

Soal kesejahteraan atlet renang di Sumatera Utara saat ini?
Dari sisi kesejahteraan atlet, harus meminta dukungan dari pemerintahnya. Minimal mereka tidak susah untuk menjalankan program sehari-hari, sehingga ke depannya bisa berbuat sesuatu ke daerahnya. Ke depannya atlet tidak ragu terjun menjadi atlet beprestasi.

Atlet yang perlu diperhatikan, gizinya. yang basic dulu. Dari life management dulu. Menu makan dikontrol betul. Nanti untuk pengembangan olahraga, dia di supply sekian untuk dia latihan. Nanti ada juga basicnya dia perlu kacamata renang, topi renang dan peralatan lainnya. Itu dulu dilengkapi.

Enggak mesti pendapatan tinggi. Tetapi kalau setiap hari dia disupply makanan dengan baik, yang berhubungan dengan kehidupan dia, enggak melulu materi, sehingga mereka mengembangkan prestasinya itu jauh dan jauh lebih bagus daripada memberikan materi terus.

Saya rasa, belajar dari yang sudah lalu. Life management lebih perlu didahulukan ketimbang financial management-nya. Atlet ini mungkin masih butuh belajar.

Kalau perlu, pemerintah membentuk satu tim untuk atlet management. Oke kalau sejahtera, sejahtera kalau dia tidak bergizi, percuma juga. Ke depannya enggak bisa berprestasi. Makan diatur, prestasi dipantau. Kalau dia ingin berprestasi di 2020 nanti, dia enggak takut kekurangan gizi.

Banyak atlet tidak bisa memanage ke kehidupan sendiri, tetapi ke kehidupan orang lain semisal keluarga.
 
Dia harus dapatkan treatment, misalkan pendidikan dia, makan, tempat tidur, sarana dia latihan. Basic-nya dulu.


Untuk life management, para atlet melakukannya sendiri? Anda juga turun tangan?

Saya memberi kepercayaan pada atlet memanaje dirinya. NPC Sumut memberikan kepercayaan pada saya penuh.

Kalau kebetulan saya bisa memberikan suplemen seperti susu, multivitamin pada atlet, kenapa tidak. Mereka juga latihan berat. Semampu saya dan tim lah. Yang penting anak-anak merasa enggak terlu kurang gizi.

Nominal saya enggak mau sebut lah. Sebagai pelatih, saya dan tim bekerja keras supaya atlet bisa konsisten dalam pelatihan. Sedikit memberikan kan tidak merugikan. Malah kalau mereka bisa berprestasi, memberikan kepercayaan pada pengurus daerah.

Miliaran enggak sampai. Untuk renang, enggak terlalu tinggi. Karena renang perlu biaya yang sedang.


Adakah keinginan kembali sebagai atlet renang? Apa rencana anda ke depannya?
Rencananya, dari 2015, 30 tahun ke depan di event-event nasional ada pengetahuan baru yang saya dapatkan bisa saya kembangkan untuk anak-anak.

Saya harap karir saya sebagai pelatih bisa jauh bermanfaat untuk atlet di sumut. Saya enggak bisa fokus di dua hal. Saya harus turun lebih dari 100 persen, sehingga atlet maksimal menerima yang kami berikan.

Untuk jadi atlet, harus fokus 100 persen.  Sebagai pelatih harus memperhatikan. Kalau atlet melakukan kesalahan, agar kesalahan itu tak terulang dilakukan. Pelatih juga pekerjaan yang membutuhkan fokus lebih dari 100 persen.
 
Saya sebagai mantan atlet, orang lihat kok mantan atlet jadi pelatih. Saya ingin mengembangkan prestasi atlet. Fokus di situ. Karir di dunia renang enggak bisa terus melonjak.


Kembali ke ingatan masa lalu anda, bagaimana perkenalan dengan dunia renang hingga akhirnya menjadi atlet renang?
Orangtua memang mengajarkan olahraga, tetapi enggak spesifik ke renang. Orangtua saya pebisnis, dia tidak banyak waktu mengatur saya. Saya waktu itu bersama abang saya, setelah sekolah enggak ada kegiatan lagi, di sekitaran toko saja bermain.

Lalu ada mobil pengangkut, kita ikut saja mobil itu, berhenti di kolam renang. Berkali-kali begitu. Hingga di 1999 saya mulai fokus di renang dan konsisten berlatih dan memiliki goal setting.

Saya mengidolakan Richard Sambera, Wisnu Wardhana, Albert Sutanto, Muhammad Akbar Nasution. Saya melihat mereka bisa seperti itu kenapa saya enggak coba fokus.

Di klub saya, yang pertama saya ikuti, saya mulai berlatih giat. Enggak terlalu paham goal setting.

Saya sendiri pernah mendapatkan pelatih yang sesuai. 2001-2003, diberikan pelatih Rusia. Dia memberikan kami arahan. Di situlah mulai karir saya dari perenang daerah menjadi perenang nasional (2003 masuk pelatnas). Dia memiliki program baku dan ada goal setting.

Pemikiran kita waktu itu yang penting latihan. Pelatih kan punya tujuan, mau ke mana arahnya, periodisasi. Muncul pemikiran dari sekian lama dilatih apa yang harus dicapai. Makanan harus seperti apa, istirahat.


Sebagai atlet kejuaraan apa saja yang sudah diraih?

Lima kali Sea Games, dari 2003, 2005, 2007, 2009 dan 2011. Untuk PON, tiga kali. Beberapa kali kejuaraan dunia 2005, 2006 di Shanghai, 2007 di Melbourne. 2007, 2008, 2009 World Cup di Singapura.

Saya satu tahun dikirim ke Amerika, untuk program "Indonesia Bangkit" di 2006-2007.

Di Sea Games 2011 (untuk nomor 4X100 estafet bebas) ada satu perak lalu satu perunggu di 2009.  


Di luar renang apa hobi anda?
Olahraga lain. Saya suka sepeda, kadang-kadang main basket juga. Di luar renang ada main game, makan, main, jalan-jalan.


Banyak penggemar, apa pernah mengalami hal buruk karena itu?

(sembari tersenyum), kadang ada beberapa yang sms. Ingin mengenal lebih dekat. Tetapi enggak pernah mengalami hal-hal buruk lah. Kita konsisten saja sebagai manusia, enggak juga kita berlebihan.


Sudah menikah?
Belum. Tetapi pacar ada sih (sambil tersipu malu).


Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016