Calais, Prancis (ANTARA News) - Pekerja sosial mengatakan, Minggu, pemerintah Inggris dan Prancis gagal memastikan nasib 1.300 anak-anak yang tak didampingi orangtuanya sehari sebelum "kamp hutan" dibongkar pemerintah Prancis.

Pegiat "kamp hutan" dekat Calais, Prancis mengkritisi lambatnya langkah pemerintah Inggris dan Prancis memproses dokumen izin masuk anak-anak yang melarikan diri dari Suriah, Afghanistan, dan Eritrea.

Pemerintah Inggris telah memprioritaskan anak-anak dan remaja yang memiliki hubungan keluarga di negaranya. Sementara itu Kementerian Dalam Negeri Prancis, Jumat, mengatakan, mereka masih berunding dengan lebih dari ratusan pengungsi yang tak punya hubungan keluarga.

"Hal itu mestinya dilakukan sejak dulu," kata Francois Guennoc dari kelompok pegiat, Auberge des Migrants.

Allaodil, anak laki-laki dari Sudan berusia 14 tahun terlihat berjalan di lorong berlumpur di "kamp hutan". Ia kedinginan berlindung di balik selimut. "Kakakku sudah di Glasgow, Inggris, selama tiga tahun, dan dia bekerja di sana," kata Allaodil dalam bahasa Inggris terbata-bata.

Allaodil ingin menemui kakaknya.

Ia mengatakan, pemerintah Inggris telah mengurus kasusnya, tetapi keputusan apakah ia akan diberi suaka atau direlokasi di Prancis masih belum jelas.

Dengan gubuk dan sanitasi buruk, "kamp hutan" menjadi simbol kegagalan Eropa mengatasi krisis pengungsi, khususnya di tengah buruknya hubungan antara Inggris dan Prancis.

Pemerintah Sosialis Prancis akan membongkar kamp dengan secara manusiawi, Senin, katanya. Sebagian besar pengungsi kamp ingin menyeberangi laut menuju Inggris.

Masalah kamp hutan dan imigrasi menjadi isu yang hangat diperdebatkan jelang pemilihan presiden April.

Kandidat Partai Konservatif berjanji akan memindahkan perbatasan dengan Inggris dari Calais ke Inggris Selatan.

Sejumlah politisi partai konservatif mengatakan Inggris mesti bertanggung jawab terhadap 6.500 penghuni kamp.

"Hal ini telah menyinggung rakyat Prancis yang masih hidup di bawah garis kemiskinan," kata anggota dewan sayap kanan, Marion Marechal-Le Pen, keponakan ketua partai Barisan Nasional, Marine Le Pen di sebuah kota pinggiran, wilayah tenggara Prancis.

Pekerja sosial mengatakan ratusan pengungsi tampaknya menolak rencana relokasi di pusat penerimaan mengingat status suaka mereka sedang diproses.

Namun pemerintah mengatakan pengungsi yang menolak direlokasi akan ditahan. "Saya akan tinggal di sini, terserah apa kata mereka," kata Ali Ahmed, 24 tahun, dari Sudan.

Ia menolak menyerah dan terus berusaha mencari cara ke Inggris. "Saya telah mengalami hal lebih buruk dari ini. Penjara tak akan banyak berbeda dari kamp hutan". 

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016