Macet di Dramaga tidak ketulungan. Ini adalah contoh tata ruang yang salah."
Bogor (ANTARA News) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan Djalil menyebutkan kemacetan yang terjadi di Jalan Raya Dramaga, Bogor, Jawa Barat tidak ketulungan.

"Macet di Dramaga tidak ketulungan. Ini adalah contoh tata ruang yang salah," kata Sofyan dalam kuliah umum di IPB, Senin.

Kedatangan Sofyan Djalil ke IPB terlambat selama hampir satu jam dikarenakan macet di Jalan Dramaga yang sulit ditembus oleh rombongannya.

Menurut Sofyan, dari dulu ia melihat tidak ada perubahan luas jalan di Jalan Dramaga, sementara jumlah kendaraan dan populasi penduduk di wilayah tersebut terus bertambah.

"Dari dulu jalannya segitu-gitu aja, kalau ini direncanakan dengan baik, tidak akan terjadi kemacetan," kata Sofyan yang istrinya menjadi salah satu pengajar di IPB.

Dalam kuliah umumnya, mantan Kepala Bappenas ini mengatakan, tata ruang belum menjadi panglima dalam perencaan bangunan, sehingga banyak ketimpangan yang terjadi.

Menurutnya, dengan penyatuan tata ruang dan badan pertanahan sebuah langkah menjadikan tata ruang sebagai panglima penentu arah pembangunan.

"Perencanaan pembangunan berdasarkan perencanaan tata ruang menjadi sangat penting. Peran tata ruang harus mengarahkan kita. Kalau tidak yang akan terjadi, pembangunan akan berdampak pada kita," katanya.

Sebagai contoh, banjir bandang di Kabupaten Garut, sebagai bukti pembangunan tanpa memperhatikan tata ruang. Daerah pegunungan ditanami sayuran. Hal serupa juga terjadi di Dieng, yang tinggal menunggu waktu dapat terjadi hal serupa seperti Garut.

Menurut Sofyan, undang-undang kehutanan perlu diubah, karena ada perbedaan cara pandang antara lahan hutan dan kehutanan. Dari semua lahan Indonesia 70 persen diklaim sebagai kawasan hutan. Sehingga 250 juta penduduk hidup di dalam kawasna hutan. Hanya 30 persen pemilih tanah.

"Undang-undang kehutanan dan pertahanan harus diubah, karena 70 persen itu jadi kawasan hutan atau kehutanan," katanya.

Persoalan lain yang dihadapi dalam bidang tata ruang dan pertanahan, lanjut Sofyan adalah mendorong kepemilikan lahan masyarakat. Saat ini baru sekitar 44 persen yang bersertifikat, sisanya belum bersertifikat.

"Kami menargetkan tahun 2017 ini ada 5 juta sertifikat, lalu 8 juta di tahun berikutnya, dan 9 juta tahun berikutnya lagi, dan kedepannya setiap tahun ada 10 juta sertifikat," katanya.

Selain itu, lanjut Sofyan, pihaknya mendorong pemukiman yang vertikal, agar pemanfaatan lahan menjadi optimal karena banyak lahan yang terlepas. Sehingga akses masyarakat terhadap lahan, begitu juga petani dapat lebih mudah.

"Tata ruang adalah instrumen dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016