Bangkok (ANTARA News) - Kepala polisi Thailand mengatakan, Rabu, penghinaan terhadap kerajaan tidak akan ditolerir dan siapapun yang dinilai melakukannya harus keluar dari negara itu, setelah munculnya sejumlah kasus penghinaan menyusul kematian Raja Bhumibol Adulyadej pada 13 Oktober.

Raja yang dihormati itu meninggal pada usia 88 tahun setelah tujuh dasawarsa bertahta dan pemerintahan militer menyatakan masa berkabung selama setahun.

Berbicara buruk soal raja dan keluarga kerajaan bukan hanya tabu namun juga ilegal berdasar hukum pidana yang menyatakan, barangsiapa "mencemarkan, menghina atau mengancam raja, ratu, anak, atau kerabat" terancam hukuman penjara hingga 15 tahun.

Menurut Reuters, menyusul kematian raja, banyak warga Thailand menjadi peka terhadap apapun yang mereka rasa tidak menghormati, terutama dengan membanjirnya berbagai artikel mengenai raja dan keluarga kerajaan dalam jaringan.

Kepala polisi nasional Jakthip Chaijinda mengatakan polisi menyelidiki 20 kasus penghinaan kerajaan atau lese majeste, sejak kematian raja dan perintah penangkapan telah dikeluarkan untuk delapan dari 20 tersangka.

"Untuk kasus-kasus lese majeste, jika orang tidak ingin tinggal di Thailand mereka sebaiknya pergi keluar negeri," kata Jakthip kepada wartawan.

"Jika mereka tidak punya uang untuk tiket pesawat saya akan bayar, mereka bisa minta saya untuk membelikan tiket pesawat," imbuh dia.

Pemerintah juga mengambil tindakan untuk menghentikan penghinaan raja yang dilakukan di luar negeri.

Kementerian Luar Negeri mengatakan, Selasa, telah meminta ekstradisi beberapa orang yang diduga menghina kerajaan namun mereka tidak memberikan rinciannya.

Pihak militer sejak lama menganggap diri sebagai pembela kerajaan dan selama beberapa dekade memanfaatkan tugasnya melindungi kerajaan untuk membenarkan campur tangannya dalam politik.

Sejak merebut kekuasaan dari pemerintah pada 2014, junta mengambil sikap keras terhadap penghinaan kerajaan dan jumlah hukuman yang dijatuhkan pengadilan sudah mencapai rekor.

Para kritikus dan beberapa negara Barat mengungkapkan keprihatinan soal kondisi hak asasi manusia sejak kudeta.

Aktifitas politik serta perkumpulan damai dilarang, dan pengadilan militer digunakan untuk mengadili kasus-kasus keamanan nasional, termasuk kasus yang melibatkan warga sipil.

Pemerintahan militer membela diri soal catatan HAM itu dan mengatakan bahwa mereka harus bertindak untuk menjaga ketertiban setelah satu dekade perpecahan dan persaingan politik yang menghadapkan kelompok kerajaan-militer dengan kelompok politik kerakyatan.

Anak lelaki raja, Pangeran Maha Vajiralongkorn, akan menjadi raja berikutnya namun ia meminta penobatan resminya ditunda sementara ia akan menjalani masa berkabung bersama rakyat, kata pemerintah.

(S022/G003)

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016