Hong Kong (ANTARA News) - Bankir Inggris Rurik Jutting merincikan secara tenang pengaruh kokainnya penyebab dia melakukan penyiksaan dan pembunuhan yang berakhir kematian dua perempuan Indonesia di apartemen mewahnya di Hong Kong.

Dalam pengadilan yang dilaksanakan, Rabu waktu setempat dengan menunjukkan video yang dia miliki, pria 31 tahun lulusan Cambridge itu mengatakan, enam minggu setelah ia mulai membeli kokain langsung dari pengedarnya, ia terpengaruh lebih jauh dalam obat-obatan, alkohol dan memakai jasa prostitusi.

Pada hari ketiga sidang pembunuhan, jaksa mengatakan Jutting mengkonsumsi 10 gram kokain murni 30 persen sehari yang merupakan dosis terlampau tinggi. Seorang ahli toksikologi mengatakan dalam ruang sidang sekitar tiga gram saja dikonsumsi bisa berakibat fatal.

Jutting telah mengakui telah membunuh seorang ibu tunggal, Sumarti Ningsih (23) dan seorang WNI lain, Seneng Mujiasih (26), di apartemennya dua tahun lalu.

Akan tetapi, ia membantah jika disebut bertanggung jawab secara langsung atas pembunuhan itu, namun mengakui pembunuhan itu terjadi secara tidak disengaja.

Dia menjelaskan video tersebut menunjukkan bagaimana kokain membuat dia merasakan dorongan seksual dan berfantasi untuk jangka waktu lama. Dia mengaku telah mencoba kokain sebelumnya tapi hanya sekilas.

Kemudian dalam pemeriksaan, saat menjelaskan pembunuhan pertama, Jutting membungkuk untuk menunjukkan bagaimana ia melukai tenggorokan korban pertamanya, Ningsih, yang ditemuinya melalui Iklan baris salah satu laman web.

"Awalnya saya tidak memotong cukup dalam, saya hanya memotong pembuluh darah di tenggorokannya... dia berdarah di lantai. Lalu aku menarik dia ke kamar mandi dan menggunakan pisau untuk memotong sedalam yang aku bisa dan kemudian dia meninggal dalam beberapa menit," katanya sambil menjelaskan video dalam ruang sidang yang penuh sesak.

Jutting memfilmkan dirinya menyiksa dan membunuh salah satu korbannya yang merupakan bagian dari rekaman ponsel yang diambil dari rekaman empat jam yang menunjukkan perubahan sikapnya antara menyombongkan diri, penyesalan dan menggambarkan kesenangan ia akan hubungan seksual secara brutal.

Ketika menjelaskan pembunuhan kedua dalam video, Jutting menjelaskan bagaimana ia bertemu Mujiasih di sebuah bar dekat kediamannya dan setuju membayar 12.000 dolar Hong Kong (1.550 dolar AS) untuk pergi ke apartemennya yang hanya beberapa menit berjalan kaki dari kawasan prostitusi di kota itu.

Jutting mengatakan dia membunuh Mujiasih dalam waktu 20 menit sejak perempuan tersebut memasuki apartemennya. Sekali lagi dia mengisyaratkan pada dua petugas yang memutarkan video untuk menunjukkan bagaimana ia menggunakan tangan kanannya untuk memotong tenggorokan sementara tangan kirinya memegang kepala perempuan itu.

"Saya tidak ingat berapa lama dia mati. Saya pikir saat satu waktu ketika dia masih hidup, aku keluar ke balkon, telanjang dan berlumuran darah dan tergeletak di balkon untuk beberapa waktu," katanya.

"Mereka Adalah Mangsa"
Jutting mengatakan dia tidak tidur di antara dua pembunuhan itu yang memakan waktu sekitar lima hari. Dalam periode itu, dia menggunakan kokain dengan jumlah berlebih dan menonton pornografi ekstrim termasuk bertema kekerasan dan perkosaan.

Dia merinci bagaiaman dia bertemu korban keduanya di suatu bar bernama New Makati, yang dia katakan tempat yang diketahui menyediakan pekerja seks.

"Dia adalah mangsa, saya hanya bisa menggambarkan bahwa diriku berada dalam mode berburu," kata Jutting.

Dalam pemeriksaan dengan polisi pada 2 November 2014, satu hari setelah Jutting ditangkap, dia mengungkapkan sangat detail atas apa yang terjadi, saat itu dia menceritakan dengan tenang jalannya peristiwa tersebut dan menampilkan keriangannya.

Jutting yang juga belajar di Winchester, salah satu sekolah swasta terkenal dan tertua di Inggris, diketahui bekerja di Bank of America cabang Hong Kong sebelum penangkapannya.

Saat diperiksa kepolisian, Jutting mengatakan dirinya mengundurkan diri tak lama setelah membunuh Ningsih dengan mengirimkan email untuk memberitahukan bank, sebelum kemudian mencoba untuk "membersihkan kamar mandi" di mana korban pertama meninggal.

Pihak Bank of America menolak memberikan komentarnya ketika dihubungi kantor berita Reuters, Rabu.

Dengan kemeja biru tua, Jutting muncul dengan penuh perhatian selama sidang Rabu itu ketika dia diperlihatkan videonya.

Dalam salah satu video, dia mengatakan dirinya berhubungan seksual dengan Ningsih di sebuah hotel dekat apartemennya dalam satu waktu selama periode enam hari ketika dia dikunjungi beberapa pekerja seks.

Dalam pertemuan kedua kalinya dia setuju untuk membayar Ningsih sebesar 8.000 hingga 10.000 dolar Hongkong untuk menghabiskan malam bersamanya, sebuah pertemuan yang pada akhirnya berubah menjadi penyiksaan selama tiga hari.

Jutting yang sebelumnya merupakan Wakil Presiden dan Kepala Structured Equity Finance & Trading wilayah Asia bagi Bank of America, telah dinyatakan depresi karena pekerjaan dalam rangkaian pernyataannya dan diketahui dia disebut Rurik Jutting yang melantur dan narsis.

Jutting dituntut melakukan pembunuhan pada Oktober 2014.

Polisi mengatakan mereka menerima panggilan dari pria yang kala itu berusia 29 dan meminta petugas untuk datang ke apartemennya, di mana mereka menemukan mayat dua wanita tersebut.

Dari kesaksian ahli forensik patologi, Poon Wai-ming, di pengadilan, diketahui Ningsih yang memiliki seorang putra di Indonesia dan datang ke Hong Kong dengan visa turis, dimutilasi dan ditemukan di dalam koper yang disimpan balkon apartemen Jutting.

Sementara Mujiasih, yang merupakan pekerja rumah tangga, ditemukan tergeletak di dalam apartemen dengan luka di leher dan pantat.

Pihak pembela dan penuntut sama-sama sepakat atas bukti psikis.

Sementara Hakim Michael Stuart-Moore telah menyarankan pada para juri di hari pertama persidangan dengan mengatakan putusan bisa disandarkan pada kesaksian psikiatri dan psikologis.

Pembunuhan di Hongkong akan dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara pembunuhan tanpa disengaja memiliki sanksi maksimal seumur hidup.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016