Pemimpin publik yang sederhana atau bersahaja selalu memukau, kenapa? Karena di tengah gelimang fasilitas, mungkin dengan kadar kemewahan tertentu, sang pemimpin mengelak untuk tergoda atau hanyut dalam kemewahan itu.

Di dunia ini tidak banyak pemimpin publik yang memperlihatkan kesederhanaan yang membuat warga berdecak kagum. Salah satunya Presiden Uruguay Jose Mujica yang menjabat 2010 s.d. 2015, yang dikenal karena secara ekstrem memilih gaya hidup yang sederhana, memilih mobil tua sebagai kendaraan pribadi, dan tinggal di rumah ala kadarnya.

Di Indonesia, meski tidak sampai pada tataran yang seekstrem Jose Mujica, ada pemimpin-pemimpin publik yang memperlihatkan kesederhanaan.

Makna sederhana tampaknya perlu dipahami dalam spektrum yang bukan cuma material, melainkan juga imaterial.

Pemimpin sederhana dalam tataran imaterial, antara lain, terefleksi pada karakter sang pemimpin yang mau menerima siapa saja, tukang becak, pengemis, kuli batu, preman jalanan, dan mereka yang dipandang sebelah mata oleh kaum diskriminatif.

Dalam kata-kata politikus Sidarto Danusubroto, pemimpin yang sederhana harus bisa mempreteli keangkeran. Biasanya makin tinggi kekuasaan seorang pemimpin, makin angker di mata rakyat kecil.

Kesederhanaan imaterial yang diperlihatkan pemimpin juga terletak pada kesediaannya untuk memilih jalan natural bagi keluarga, tanpa hasrat ngotot memaksakan diri membangun dinasti politik.

Makna kesederhanaan tampaknya tidak perlu dipertentangkan dengan gaya hidup hedonistik dalam arti, yang menelurkan kenikmatan tidak harus hal-hal mewah yang berharga mahal.

Seorang yang suka menyantap makanan lezat yang dimasak sendiri, yang dengan demikian tidak harus mahal bisa mendaku diri sebagai kaum hedonis.

Tentu saja makna hedonisme yang selama ini ditangkap benak banyak orang adalah gaya hidup foya-foya yang disertai dengan minum-minuman memabukkan dan mereguk kenikmatan dari sesuatu yang dilarang etika.

Perdana Menteri Thailand yang memerintah pada periode 1992 s.d. 1995 pernah dipersepsikan media massa sebagai presiden yang sederhana sekaligus hedonistik karena dia memasang kancing jaketnya yang lepas dengan menisiknya sendiri. Dia rupanya mendapat kenikmatan dari tindakan sederhana yang tidak banyak dilakukan oleh orang lain ini.

Kesederhanaan tidak selalu menjadi pangkal keberhasilan seorang pemimpin publik jika dia tidak bisa menjadi teladan bagi pemimpin di bawahnya.

Itu sebabnya, kesederhanaan hanya digunakan sebagai tolok ukur karakter kepribadian bukan jadi parameter keberhasilan secara politik.

Sedikitnya, pemimpin yang sederhana bisa menginspirasi warganya untuk tidak hanyut dalam hidup bermewah-mewah. Namun, zaman yang dimenangi kapitalisme tidak bersahabat dengan kebersahajaan.

Ketika ekonomi negara mengalami kelesuan, seruan untuk mengonsumsi lebih banyak justru menjadi anjuran. Bukan kesederhanaan lagi jika orang didorong untuk berkonsumsi lebih banyak.

Pemimpin yang sederhana di tengah masyarakat yang sebagian masih bergelimang dalam kemiskinan menjadi relevan. Bukankah pamer kemewahan di tengah kemiskinan merupakan tindakan yang tidak peka atau melukai perasaan si miskin.

Itu sebabnya isu kesederhanaan hanya relevan di lingkungan negara yang masih dirundung masalah kemiskinan penduduk. Untuk bangsa-bangsa yang lepas dari persoalan kemiskinan, isu itu jarang diangkat ke permukaan oleh media.

Pemimpin sederhana akan efektif jika watak kesederhanaannya itu berdampak pada ketegasan sikapnya dalam menghadapi bujuk rayu relasi yang berhubungan dengan kekuasaan. Para pebisnis yang mengetahui bahwa pemimpin politik itu tergolong sebagai pejabat yang sederhana dan tidak bisa disuap akan menimbulkan rasa segan.

Sebetulnya, dari manakah sumber watak sederhana itu muncul pada diri seseorang. Dalam hal ini, teori yang dirumuskan dalam satu kalimat yang digoreskan dalam gurindam oleh Raja Ali Haji bisa sedikit membantu: Anak yang tak dilatih membuat orangtuanya letih.

Artinya, kesederhanaan, seperti watak kerja keras, jujur dan adil adalah hasil dari pembudayaan sejak anak-anak.

Anak-anak yang dididik dalam kemewahan tanpa diberi keteladanan sejak dini, akan cenderung untuk menjadi tidak sederhana. Itu sebabnya, anak-anak pembesar, seperti kaisar atau raja pada zaman baheula, selalu dididik oleh guru-guru spesial karena sang kaisar atau raja khawatir terhadap watak sang putra di kemudian hari karena terbiasa hidup dalam gelimang kemewahan.

Orang-orang yang diberkati kekayaan pada zaman sekarang memilih menempatkan anak-anak mereka tinggal di asrama atau pesantren modern untuk menjauhkan dari dampak buruk kemewahan.

Anak adalah insan dengan lembaran watak yang mudah terbentuk oleh lingkungan. Jika tidak bisa memberikan pengaruh yang baik secara kontinu, pilihan menempatkan mereka di pusat-pusat pendidikan yang berbasis keagamaan menjadi prioritas.

Tampaknya kesederhanaan yang dimiliki oleh Presiden RI Joko Widodo juga dipengaruhi oleh lingkungan masa kecilnya di Solo.

Pertanyaannya, apakah masa kecil seseorang yang diberkati kemewahan dan kekayaan tidak akan melahirkan sikap sederhana di kemudian hari? Pengalaman sejumlah pemimpin sederhana mengindikasikan bahwa mereka yang tinggal di lingkungan mewah elitis pun bisa menjadi sederhana di kelak kemudian hari sejauh keluarga dan lingkungannya mampu menyuntikkan nilai-nilai kesederhanaan dalam perjalanan hidupnya.

Dari pengalaman hidup ini bisa ditarik konklusi bahwa lingkungan masa kecil yang mewah bergelimang harta dan elitis pun tak menghadang seseorang untuk menyandang karakter sederhana ketika menjadi pemimpin.

Visi kepemimpinan yang mengagungkan kesederhanaan tampaknya bisa diinternalisasikan ke dalam kepribadian meskipun dia diberkati hidup dalam keserbaadaan.


Oleh M. Sunyoto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016