Jakarta (ANTARA News) - Sama-sama meraih Nobel dalam bidang kesusastraan, dan sama-sama menolak ganjaran uang atas penghargaan bergengsi itu, baik musisi legendaris Amerika, Bob Dylan maupun filosof Prancis Jean-Paul Sartre, melibas waktu dengan menekankan bahwa manusia modern linglung alias gagap dengan dirinya sendiri.

Bob Dylan menyabet hadiah Nobel 2016 dalam bidang kesusastraan, sementara Sartre memperoleh Nobel Sastra pada tahun 1964.

Dylan digadang-gadang mampu menciptakan ekspresi-ekspresi puitis anyar dalam tradisi lagu Amerika yang luar biasa dengan melantunkan lagu seperti Blowin in the Wind, The Times They Are A-Changin, Subterranean Homesick Blues. Tembang-tembang itu dianggap menginspirasi dan mengedepankan semangat antiperang di kalangan generasi muda 1960-an.

Sartre (1905 s.d. 1980) dengan artikel berhulu ledak dahsyat berjudul "Le Figaro" menyentil drama mengenai potret manusia galau sejamannya yang terbelenggu dalam ketidakmenentuan dan ketidakjelasan arah pandangan mengenai makna bagi diri sendiri.

Dylan dan Sartre menunjuk kepada gambaran manusia yang diputar ke sana-kemari dengan dirinya sendiri. Manusia terperosok ke dalam budaya narcistik, yakni peduli dengan diri sendiri, dan peduli kepada orang lain meski akhirnya demi kepentingan diri sendiri. "Saya memberi agar engkau memberi", atau "Do ut Des", demikian ungkapan Latin klasik.

Keduanya terkesan malu-malu kucing menerima duit. Dylan belum merespons langsung Swedish Academy yang memutuskan namanya sebagai pemenang Nobel. Dia dilabek sebagai sosok tidak sopan cenderung arogan. Pelantun Like a Rolling Stone itu terancam kehilangan hadiah uang 900.000 dolar Amerika Serikat.

Sartre ogah menerima fulus, meski beberapa tahun kemudian pengacara filosof Prancis itu mengirim surat kepada Swedish Academy untuk mengirimkan uang hadiahnya. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Penolakan Sartre itu lantas dimaknai oleh kritikus Max-Pol Fouchet sebagai "kesendirian khas penulis revolusioner" ketika menegaskan "kematian manusia sebagai subjek". Manusia sejatinya hanya memantas-mantas diri tanpa dapat menunjuk siapa dirinya sendiri. Linglung oleh potret dirinya sendiri.

Sikap seperti itu tidak baru benar. Sastrawan dan kaum intelektual Amerika Latin menunjukkan dakuan yang serupa. Sebut saja, Octavio Paz, Gabriel Garcia Marquez dan yang terakhir Derek Walcott. Mereka ini bertekad memerdekakan diri dari belenggu dakuan khas Barat yang mematikan kebebasan publik Amerika Latin.

Kalau "Tuhan sudah mati" kata filosof Frederich Nietzsche, maka Dylan dan Sartre sama-sama berteriak dengan lantang dalam penggal tembang "It Aint Me Babe. Go way from my window/Leave at your own chosen speed, it begins. Im not the one you want, babe/Im not the one you need.

Dylan dan Sartre mengirim pesan kepada semesta dunia, "Jika Anda mencintai (kami), Anda perlu memahami siapa diri (kami). Jangan sekali-sekali memaksa kami untuk tidak menjadi diri (kami) sendiri."

Dylan dilabel sebagai sosok yang tidak sopan dan sombong. Sebutan seperti itu menegaskan bahwa ketidaktahuan kerap kali menyuburkan keterbatasan pemahaman diri sendiri. Orang kerap kali gagal paham mengenai dirinya sendiri. Dia kemudian melibas dan melindas kebebasan dirinya sendiri.

Contoh lugasnya, silakan membayangkan bahwa seseorang yang sudah termakan usia, kemudian bersikap layaknya anak baru gede (ABG) dengan memaksa-maksa diri berhura-hura dengan berjingkrak-jingkrak atau melucu untuk sekadar dapat diterima oleh kelompok yang bukan seusia dirinya.

Dengan menggunakan nada getir, Dylan menunjuk kepada manusia modern yang makan dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam satu mulut. Minum air layaknya hewan karena menyeruput dari tong air dengan kepala tertunduk sambil mengeluarkan suara mendesis.

Dengan nada sarat kasih, Sartre mengimbau manusia modern bahwa kesunyian merupakan awal dari kecintaan akan jagat semesta. Silakan menyaksikan potret manusia yang mencari pengakuan diri dengan mengonsumsi barang-barang demi gengsi semata.

Dylan dan Sartre menggeledah budaya gincu, merangsek budaya serba pura-pura. Dua penggawa di bidang sastra dunia itu menunjuk kepada kredo bahwa orang lain adalah segalanya. Yang lain, yang berbeda, selalu menunjukkan penampakan dan pengejawantahan dari "wajah" (epifani) sesama.

Dylan dan Sartre sama-sama menulis dari kesendirian. Karya besar bertajuk kemanusiaan bukan lahir dari mereka yang mencintai hura-hura dengan mengatasnamakan tuntutan ziarah zaman. Waktu tidak bergerak dari masa depan ke belakang, tetapi dari masa lampau ke masa depan. Waktu memiliki dinamika ke depan.

Waktu selalu membuka, mengajak, dan bertindak bagi sesama, bukan mengarahkan hanya pada kepentingan diri sendiri. Dylan dan Sartre merupakan duta-duta waktu bahwa manusia diharapkan piawai dalam mengukur perilakunya di hadapan sesama.

Hanya Dylan tidak lagi ingin menulis drama waktu. Sartre terhukum oleh waktu. Waktu mengadili, dan sesama manusia memvonis: kita menghitung hari dan dihitung oleh hari. Yang tertinggal dan tersisa hanyalah menanti dan menanti.

Yang ada: penantian! Yang ada: harapan!

(A024/D007)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016