Istanbul, Turki (ANTARA News) - Pemerintah Turki mengatakan bahwa mereka telah memberhentikan 10.000 orang pegawai negeri dan menutup 15 kantor media atas dugaan keterkaitan dengan sejumlah organisasi teroris dan pemuka agama Fethullah Gulen yang dituduh berada di balik kudeta yang gagal Juli lalu.

Lebih dari 100.000 orang telah diberhentikan atau dibebastugaskan dan 37.000 orang lainnya telah ditahan sejak digencarkannya tindakan keras oleh Presiden Tayyip Erdogan, yang menyebutnya penting untuk menyingkirkan jaringan Gulen dari perangkat negara.

Ribuan orang akademisi, pengajar, pekerja kesehatan, sipir penjara dan pakar forensik berada di antara mereka yang akan disingkirkan dari posisi-posisi mereka, melalui dua dekrit eksekutif baru yang diterbitkan di surat kabar resmi pada Sabtu malam.

Para partai oposisi menyebutkan langkah itu sebagai sebuah kudeta dari dalam.

Tindakan keras yang berkelanjutan itu juga memicu kekhawatiran atas fungsi negara.

"Apa yang dilakukan oleh pemerintah dan Erdogan saat ini merupakan sebuah kudeta langsung terhadap ketentuan hukum dan demokrasi," Sezgin Tanrikulu, seorang anggota parlemen dari partai oposisi utama, Partai Republik Rakyat (CHP) mengatakan dalam sebuah siaran di Twitter.

Sebuah pengadilan Turki pada Minggu secara resmi menahan Gultan Kisanak dan Firat Anli, yang menjadi wali kota bersama di kota Diyarbakir, yang sebagian besar dihuni oleh kelompok Kurdi, atas tuduhan keanggotaan dalam organisasi teroris setelah ditahan selama lima hari.

Sebelumnya, pihak kepolisian menggunakan peluru karet untuk membubarkan sekian ratus orang demonstran yang melawan penahanan mereka. Jaringan internet lumpuh di kota itu selama beberapa hari, para saksi mengatakan.

Bagian tenggara Turki telah menjadi lokasi terjadinya kekerasan terburuk selama beberapa dasawarsa sejak batalnya perdamaian antara negara dengan Partai pekerja Kurdistan (PKK), yang disebut sebagai sebuah organisasi teroris oleh Turki, Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Jaksa penuntut setempat mengatakan bahwa Kisanak, yang merupakan seorang anggota parlemen sebelum menjadi wali kota wanita pertama di Diyarbakir 2014 lalu, dan Anli yang telah memberikan sejumlah pidato yang simpatis terhadap PKK, meminta otonomi politik yang lebih besar bagi sekitar 16 juta jiwa warga Kurdi di Turki dan memicu protes keras pada 2014.

Penyalahgunaan

Tingkat tindakan keras yang dilakukan telah membuat khawatir para kelompok hak asasi dan banyak sekutu barat Turki, yang mengkhawatirkan Erdogan menggunakan aturan darurat untuk menyingkirkan perlawanan.

Pemerintah mengatakan bahwa langkah-langkah itu dibenarkan dikarenakan adanya ancaman terhadap negara dari usaha kudeta itu, dimana 240 orang tewas.

Dekrit eksekutif itu telah memerintahkan ditutupnya 15 surat kabar, telegram dan majalah, menambahkan jumlah media yang ditutup sejak Juli menjadi hampir 160 kantor media.

Sejumlah perguruan tinggi juga dicabut hak mereka untuk memilih rektor mereka sendiri menurut dekrit itu. Erdogan mulai saat ini akan menunjuk langsung para rektor dari calon-calon yang dinominasikan oleh Badan Pendidikan Tinggi (BOK).

Lale Karabiyik, anggota parlemen lainnya dari CHP, mengatakan bahwa gerakan itu jelas merupakan sebuah penyalahgunaan ketentuan darurat dan menyebutnya sebagai sebuah kudeta terhadap pendidikan tinggi.

Pihak oposisi pro-Kurdi mengatakan bahwa dekrit itu digunakan sebagai alat untuk membentuk sebuah "rezim satu orang".

Pemerintah memperpanjang keadaan darurat negara yang diberlakukan setelah usaha kudeta itu selama tiga bulan hingga pertengahan Januari mendatang.

Erdogan mengatakan bahwa pihak berwenang memerlukan waktu lebih banyak untuk menyingkirkan ancaman yang datang dari jaringan Gulen begitu pula dengan pihak militan Kurdi yang telah memberontak selama 32 tahun.

Ankara meminta Amerika Serikat menahan dan mengekstradisi Gulen agar dia dapat diadili di Turki atas tuduhan mendalangi usaha penggulingan pemerintah. Gulen, yang mengasingkan diri di Pennsylvania sejak 1999, menyangkal segala keterlibatan.

Berbicara kepada para wartawan di sebuah resepsi yang menandai Hari Republik pada Sabtu, Erdogan mengatakan bahwa negara ingin pemberlakuan kembali hukuman mati, sebuah perdebatan yang muncul menyusul adanya usaha kudeta, dan menambahkan bahwa penundaannya tidak akan baik, demikian Reuters melaporkan.

(Ian/KR-MBR)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016