Ain Issa, Suriah (ANTARA News) - Ketika Saada al Aboud melihat para petempur ISIS membawa persenjataan ke desanya di dekat kubu pertahanan kelompok itu di Raqa, Suriah, dia takut dia dan keluarganya akan menjadi tameng manusia para ekstremis.

"Petempur Daesh (ISIS) membawa senjata berat ke desa kami dan tinggal di antara kami sehingga bila ada serangan, itu akan mengenai kami," kata perempuan 45 tahun itu kepada kantor berita AFP saat meninggalkan desa Al Heisha.

"Mereka tidak akan membiarkan kami pergi," kata perempuan dengan tato Badui di dagu itu.

"Kami harus melarikan diri keluar dari medan bersama dengan anak-anak dan orang tua kami. Apa lagi bisa kami lakukan? Kami meninggalkan semuanya."

Al Heisha, 40 kilometer di utara Raqa, sudah dikuasai oleh ISIS, namun para ekstremis mulai memindahkan artileri ke sana setelah mendapat tekanan dari serangan baru untuk merebut benteng mereka.

Sekutu Kurdi Arab yang didukung Amerika Serikat, yang dikenal dengan nama Pasukan Demokratik Suriah (Syrian Democratic Forces/SDF) telah memulai operasi untuk merebut kembali Raqa pada Sabtu malam dalam upaya menekan ISIS, yang sedang menghadapi serangan di benteng pertahanannya di Mosul, Irak.

Sejauh ini SDF sudah maju sampai 36 kilometer dari Raqa, merebut sejumlah desa dari kendali ISIS.

Operasi di Irak dan Suriah memberikan tekanan kepada kelompok ekstremis yang menghadapi kemungkinan kehilangan dua pusat pendudukan besarnya.

Pertempuran-pertempuran itu membuat warga sipil terus menerus meninggalkan wilayah kekuasaan ISIS, kebanyakan menuju Ain Issa, 50 kilometer utara Raqa dan panggung utama untuk operasi itu.


Mobil kelebihan muatan

"Kami takut dengan pesawat-pesawat, dan kami takut dengan para petempur ISIS," kata Wazira Al-Jeely (34) dari desa Al-Tuwaila.

"Ketika serangan dimulai, kami melepas burqa dan mengatakan kami selesai dengan kalian, dan kami lari," katanya.

Warga sipil yang melarikan diri, bersama puluhan anak-anak yang tersenyum di antara mereka, kebanyakan datang dengan mobil-mobil pikap dengan muatan berlebih.

Namun yang lain datang menggunakan sepeda motor, dan beberapa bahkan jalan kaki, dengan domba dan kambing di depan mereka.

Petempur SDF menghentikan kedatangan mereka beberapa kilometer di luar Ain Issa, memeriksa kartu identitas dan barang-barang mereka dalam upaya mencegah pasukan ISIS menyusup.

Para ekstremis sudah mulai membalas serangan dengan taktik kesukaan mereka--menggunakan bom-bom bunuh diri-- membuat SDF gelisah dengan kedatangan mereka.

Warga sipil menanti dengan sabar untuk diproses, wajah-wajah mereka tertutup debu jalanan, beberapa sambil membawa koper dan barang-barang lain memenuhi kendaraan mereka.

"Alhamdulillah kami bebas. Situasinya mengerikan," kata Mohamed Mahmoud Ismail di sepeda motor bersama anak lelakinya.

"Sebuntal roti harganya 400 pound (0,80 dolar AS) dan kami sekarat karena lapar," katanya.

"Kalau kau potong rotinya, mereka membuatumu membayar 30.000 pound sebagai denda, memenjarakanmu dan menyita kartu identitasmu-- dan tidak mengembalikannya sampai kau menyelesaikan pelajaran hukum Islam."

Di kendaraan yang lain, Heza Attiyeh tampak puas menghela rokok, yang dilarang di wilayah yang ada dalam kendali ISIS.

"Alhamdulillah kami selesai dengan ISIS dan sekarang kami masuk ke tempat aman," katanya sebagaimana dikutip kantor berita AFP.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016