Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 2 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap 305.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,9 miliar).

Budi Supriyanto dikenai hukuman terkait penyuapan terhadap penyaluran program aspirasi pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.

"Menyatakan terdakwa Budi Supriyanto terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp300 juta dengan ketentuan bila terdakwa tidak dapat membayar denda maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim Frangkie Tambuwun dalam sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Koruspi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Budi divonis penjara selama 9 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Majelis hakim yang terdiri atas Frangkie Tambuwun, Jhon Halasan Butarbutar, Ansori Syarifuddin, Faisal Hendri dan Muhammad Idris M Amin menegaskan bahwa Budi Supriyanto memang punya niat (mens rea) untuk mendapatkan komisi dari pengurusan dana aspirasi Komisi V DPR, meski pernah melaporkan penerimaan dana 305 ribu dolar Singapura itu sebagai gratifikasi ke KPK.

"Saat menerima uang 305 ribu Singapura, menurut terdakwa timbul keraguan apakah uang itu merupakan kerja sama proyek pengerukan jalan tol Solo Kertosono atau fee dana aspirasi untuk anggota Komisi V DPR dalam pembangunan jalan Werinama-Laimu, ini menunjukkan sikap batin terdakwa bahwa memang ada fee program aspirasi jadi seharusnya terdakwa menolak pemberian dari saksi Julia Prasetyarini itu karena belum jelas statusnya. Dengan telah diterimanya uang itu maka ditemukan kesalahan dalam diri terdakwa karena uang itu terkait program fee aspirasi tapi tetap diterima," kata anggota majelis hakim Ansori.

Majelis hakim juga tidak menyetujui nota pembelaan (pledoi) Budi dan pengacaranya yang mengaku telah melaporkan penerimaan 305 ribu dolar Singapura itu ke KPK sebagai penerimaan gratifikasi.

"Terkait terdakwa sudah melaporkan penerimaan 305 ribu dolar Singapura ke KPK sebagai gratifikasi dalam waktu 17 hari tapi OTT terjadi pada 13 Januari 2016 sedangkan pelaporan gratifikasi baru dilakukan 17 hari setelah penerimaan, berarti pelaporan gratifikasi baru dilakukan setelah penangkapan terhadap Damayanti, Dessy dan Julia, maka pelaporan itu tidak menghapus perbuatan terdakwa meski mengembalikan uang karena sudah ada sikap batin dari terdakwa," katanya.

"Terdakwa melaporkan gratifikasi ke KPK 17 hari setelah diterimanya suap atau ditangkapnya pelaku lain sehingga pelaporan itu karena faktor eksternal sehingga tidak menghapus perbuatan hukum dari perbuatan terdakwa sehingga majelis hakim tidak sependapat dengan nota pembelaan yang diajukan oleh terdakwa dan penasihat hukum terdakwa," kata hakim Ansori menambahkan.

Penerimaan itu diawali Budi ketika ia bertemu dengan anggota Komisi V dari fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti, anggota fraksi PKB Fathan dan Alamuddin Dimyati Rois di ruang kerja Damayanti di ruang 621 gedung DPR untuk membahas permintaan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Amran Hi Mustary agar Damayanti dan anggota Komisi V lain menyalurkan program aspirasinya ke wilayah Maluku dan Maluku Utara. Keempatnya pun bersedia menyalurkan program aspirasinya.

Salah satu program pembangunan yang disasar adalah Jalan Werinama-Laimu senilai Rp50 miliar di Maluku. Sebagai balasannya para anggota DPR akan mendapat fee 6 persen nilai proyek dari calon rekanan.

Budi pun meminta agar Damayanti membantu Budi untuk menerima fee dari calon rekanan yakni dengan menjadi penghubung antara Budi dengan calon rekanan dan menerima fee Budi.

Budi baru bertemu dengan pemberi suap yaitu Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir sebagai calon pelaksana pembangunan proyek jalan di BPJN IX pada Desember 2015 di Solo saat dipertemukan oleh Damayanti dan Budi diminta untuk langsung berkoordinasi dengan Dessy dan Julia dalam hal penerimaan fee dari Abdul Khoir. Sedangkan Damayanti sebagai penghubung mendapatkan 2 persen dari nilai proyek.

Fee tersebut diberikan Abdul Khoir pada 7 Januari 2016 di Pasaraya Blok M melalui Julia sebesar 404 ribu dolar Singapura. Keesokan harinya, Juli melaporkan ke Damayanti. Setelah itu Damayanti memerintahkan Julia menyerahkan kepada Budi sebesar 305 ribu dolar Singapura (atau 6 persen dari Rp50 miliar) sedangkan sisanya 99 ribu dolar Singapura dibagi tiga kepada Damayanti, Dessy dan Julia masing-masing 33 ribu dolar Singapura.

Uang pun diserahkan di restoran Soto Kudus Blok M Jalan Tebet raya pada 11 Januari 2016 dalam plastik hijau bertuliskan "Century".

Terhadap putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum KPK maupun Budi Supriyanto mengatakan pikir-pikir.

"Kami akan pikir-pikir terlebih dulu yang mulia," kata penasihat Budi.

Di luar persidangan Budi mengatakan bahwa ia meminta keadilan karena menilai bahwa ia bukanlah pelaku utama.

"Damayanti ada pemberat pidana, tapi yang tidak logis adalah kenapa tuntutan saya bisa lebih berat dan kemudian putusan lebih berat. Jadi yang saya tanyakan adalah mengenai aspek keadilan. Saya tidak keberatan diadili tapi yang terpenting adalah penegakan hukum juga harus memperhatikan keadilan," kata Budi.

Terkait perkara ini, Damayanti sudah divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi juga sudah divonis masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan sedangkan Abdul Khoir divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan.

Sedangkan tersangka lain yaitu Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary dan mantan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PAN Komisi V DPR Andi Taufan Tiro sudah ditahan KPK namun berkasnya masih dalam tahap penyidikan.

Pewarta: Desca Lidya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016