Jakarta (ANTARA News) - Penggunaan bahasa di media sosial (medsos) yang saling menghujat, saling mengejek, dan saling memaki ketika menyoroti demonstrasi damai 4 November 2016 menuai tuah akan pentingnya penerapan etika berkomunikasi.

Sepak terjang media sosial--dengan mengandalkan kredo bahwa aku mengirim pesan maka aku ada--sejatinya dikemukakan secara terang benderang oleh Presiden RI Joko Widodo.

"Coba kita lihat sekarang buka (media sosial) saling menghujat, saling mengejek, dan saling menjelekkan. Apakah itu kepribadian bangsa kita? Apakah itu budi pekerti yang ditanamkan kepada kita? Saya kira tidak. Ini ada infiltrasi lewat media sosial yang tidak kita sadari dan tidak kita saring," kata Presiden dalam sambutannya pada Musyawarah Nasional VIII Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (9/11).

Keprihatinan Presiden Jokowi itu jelas-jelas menyasar pada konten media sosial yang bermuatan hasutan, berbobot provokasi, bahkan berita bohong atau hoax.

Jelang dan sesudah demonstrasi 4 November, lalu lintas isu negatif dan bohong dalam waktu singkat merangsek pengguna Facebook, Twitter, ataupun ke aplikasi percakapan WhatsApp.

Ujung-ujungnya, atmosfer pembaca disesaki dengan warta berisi ejekan dan makian, bahkan kebencian antarwarga. Konten media sosial diwarnai berita bohong, atau percakapan semu belaka yang menyebar luas di jejaring sosial dan telepon selular.

Misalnya, warta bohong yang menyebutkan bahwa ada teror bom di demo 4 November. Tidak tanggung-tanggung, beredar telegram palsu yang menggunakan nama Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Disebutkan, akan ada aksi penyiapan aksi bom dibarengi penembakan dan pembunuhan.

Serta-merta, hoax itu direspons oleh Divisi Humas Polri, bahwa kepolisian tidak pernah menerbitkan imbauan apa pun terkait dengan ancaman bom pada demo 4 November 2016. "Selamat Pagi Mitra Humas, Mohon Tidak Terprovokasi Pesan Berantai yang Tidak Jelas Asal Usulnya. #Divhumaspolri".

Warta bohong kedua, bertajuk "Hina Ahok, Amien Rais diperiksa polisi". Sontak, nama Amien Rais meroket setelah diwartakan akan diperiksa oleh Bareskrim Polri terkait dengan pernyataan kerasnya tentang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Di media sosial, muncul warta berisi instruksi Kapolri untuk menangkap dan memeriksa mantan Ketua Umum PAN itu. Kapolri Jenderal Tito Karnavian angkat bicara dengan tegas dan bernas, "Tidak ada perintah saya (periksa Amien Rais), terutama terkait dengan masalah Gubernur Ahok."

Warta hoax ketiga, menyebutkan pesan berantai mengenai informasi mengenai kemunculan 500 warga negara Tiongkok yang datang ke Jakarta melalui Bandara Soekarno Hatta. Ratusan orang asing itu membulatkan tekad membela Ahok.

Tertangkap oleh percakapan semu belaka, disebutkan juga bahwa sebanyak 500 warga China itu telah ada di Terminal D Bandara Soekarno Hatta pada hari Jumat, 28 Oktober 2016 sekitar pukul 20.15. Mereka berangkat menggunakan pesawat Cathay Pasific CX719.

"Tidak ada warga negara Tiongkok. Masyarakat jangan mudah percaya dengan isu-isu yang belum tentu kebenarannya," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono.

Tiga warta hoax seputar demonstrasi 4 November 2016 itu terjaring dan terperangkap dalam percakapan semu. Artinya, orang hanya sekadar meneruskan kata-kata asal bisa menjadi bagian dari urusan publik. Cukup hanya dengan omong-omong saja, dan saling berkirim pesan, orang menganggap sudah terlibat dalam keprihatinan dan kebaikan umum (bonum commune).

Hal yang semu dalam media sosial inilah yang dikritik oleh filosof Kierkegaard seputar ruang publik. Menurut dia, ruang publik yang disesaki dan dijejali oleh omongan, hanya akan menghadirkan dunia yang lepas dari keprihatinan sehari-hari.

Dalam lalu lintas media sosial, setiap orang melempar opini dan melepas komentar tentang segala apa dan segala perkara--dalam hal ini demonstrasi 4 November--meskipun tidak seorang pun ikut bersedia terlibat langsung. Meminjam kata peribahasa, lempar batu sembunyi tangan.

Parahnya, dalam kubah pergaulan media sosial--yang tidak jarang diwarnai hoax belaka--tidak ada pihak yang berkeinginan ikut bertanggung jawab. Pada titik pijak inilah--yakni berani bertanggung jawab--pernyataan Presiden Jokowi kontan terjawab seputar kepribadian bangsa dan budi pekerti yang mendesak ditanamkan kepada warga masyarakat Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial mampu membangun kesetiakawanan sosial dan mewarnai gerakan politik. Tercatat di Indonesia terjadi dalam kasus "Gerakan Satu Juta Facebooker Mendukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto", dan gerakan "Koin untuk Keadilan" yang gegap gempita didukung komunitas maya.

Media sosial dalam jagat maya layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, dapat membangun dan menggairahkan roda kehidupan masyarakat; di lain sisi, masyarakat dapat saja terjebak dalam pemberdayaan yang semu belaka.

Disebut semu karena orang mengira bahwa opini yang dilontarkan, dan komentar yang disebarluaskan--yang dikira berdampak baik dan benar--justru berakibat sebaliknya bagi kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Disebut semu karena orang mengira sudah sangat produktif dengan bermedia sosial lewat Facebook, Twitter, atau percakapan WhatsApp, padahal yang dikerjakan sekadar mengumpulkan, meneruskan, dan mengomentari informasi kepada orang-orang lain.

Dua hal yang semu inilah yang menjadi tipu daya medsos ketika menyebarkan warta berisi hoax belaka. Sejatinya, komunikasi berisi relasi dari beberapa pihak, antara "saya", "engkau", dan "kita", bertujuan menjunjung tinggi nilai kebenaran (locutio secundum mentem).

Implikasinya, bahasa yang digunakan dalam medsos (wajib) mengandung dan memuat kebenaran. Artinya, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu".

Artinya, pesan dalam medsos, hendaknya tidak menimbulkan skandal, tidak memuat kepalsuan, dan memerangi kemunafikan. Perlu penegakan dan penerapan etika berkomunikasi yang dipandu aksioma klasik bahwa hati nurani yang lurus sejatinya bersumber pada kebenaran.

Kebenaran dalam komunikasi merupakan ciri khas hubungan antarpribadi, sebagaimana ditulis oleh pemikir etika komunikasi Giannino Piana. Kebenaran dalam komunikasi via medsos pada akhirnya menyoroti autentisitas diri dengan memperhatikan lima pertanyaan.

Pertama, apakah isi pemberitaan itu sungguh benar? Apakah isi pemberitaan dalam medsos dapat dipertanggungjawabkan? Kedua, apakah pemberitaan dalam medsos merupakan hasil rekayasa dan mengandung bobot politis tertentu?

Ketiga, apa motivasi penulisan, penyiaran, dan pengiriman setiap warta dalam medsos? Keempat, apa keuntungan dan kerugian yang muncul dari penggunaan dan pemanfaatan medsos? Kelima, nilai-nilai dasar apa yang hendak ditebar dalam bermedsos?

Kelima pertanyaan itu menyasar kepada penegasan bahwa medsos wajib memprioritaskan nilai kemanusiaan, perdamaian, dan kesejahteraan hidup bersama masyarakat majemuk.

Kelimanya itu bersumber pada nilai keindonesiaan yang ditegaskan oleh Presiden Jokowi di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sebagaimana dikutip dari siaran pers Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Senin (19/9/2016).

"Nilai jati diri, identitas, karakter, budi pekerti, sopan santun, nilai kerja keras, dan optimisme," kata Presiden.

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016