Jakarta (ANTARA News) - WWF-Indonesia menyambut baik ekspor perdana produk kayu berlisensi "Forest Law Enforcement Governance and Trade" (FLEGT) dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa.

"Kami menyambut baik ekspor perdana produk kehutanan Indonesia ke Uni Eropa," ujar plt CEO WWF-Indonesia Benja V Mambai di Jakarta, Selasa.

Hal ini, menurut dia, merupakan buah dari kerja keras semua pihak selama 10 tahun dalam mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), hingga sistem ini menjadi instrumen penting untuk menjamin produk kayu Indonesia yang dipasarkan ke Uni Eropa dan negara lainnya berasal dari sumber yang legal.

Momentum ini, menurut dia, sekaligus menandakan komitmen Indonesia dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal.

Selama ini Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang berhak mengeluarkan lisensi FLEGT sehingga produk perkayuan Indonesia bebas memasuki pasar Uni Eropa.

Indonesia merupakan salah satu eksportir terbesar untuk produk kayu tropis mulai dari kayu lapis, bubur kertas dan kertas, hingga furnitur dan kerajinan tangan. Mulai saat ini, perusahaan perkayuan di Eropa bisa menempatkan produk perkayuan Indonesia ke dalam pasar UE tanpa melalui uji tuntas.

FLEGT-VPA merupakan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan UE yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola dan mempromosikan perdagangan kayu legal dari Indonesia ke pasar UE serta mendukung Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memenuhi persyaratan European Union Timber Regulation (EUTR).

Berdasarkan data terbaru, produk kayu Indonesia yang diekspor ke Eropa di 2015 mencapai 882 miliar dolar AS. Selain ke UE, negara-negara di Asia seperti China, Jepang dan Korea merupakan tujuan utama ekspor produk kehutanan Indonesia.


Pemantauan

Forest Commodity Market Transformation Leader WWF-Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan lisensi FLEGT ini akan membawa dampak positif bagi pemasaran produk-produk perkayuan dari Indonesia.

WWF-Indonesia mengimbau Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa untuk benar-benar menjalankan dan memantau penerapan sistem ini, sehingga bisa menjadi dasar untuk melangkah menuju kelestarian, katanya.

Pemerintah Indonesia, menurut dia, juga harus memastikan akses informasi kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk dapat melakukan pemantauan yang independen, termasuk memberikan akses data terkait dan dokumen perencanaan. Menahan informasi tersebut dapat menyulitkan LSM untuk memantau penerapan SVLK di lapangan.

Saat ini sudah ada 2.322 industri di Indonesia (data KLHK, 2016) yang telah lulus SVLK dan mendapat sertifikat V-legal, dan dapat langsung melakukan ekspor ke berbagai negara. Sertifikat tersebut sebagai bukti keseriusan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan. Penerapan SVLK secara tepat dapat menjadi landasan yang kuat untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016