Dia tidak pernah tidur tanpa mengenakan rompi bom bunuh diri yang dia ledakkan seandainya tertangkap
Erbil, Irak (ANTARA News) - Beberapa pekan lalu, seorang informan yang memiliki kontak dengan ISIS di dalam kota Mosul mengirimkan pesan teks kepada intelijen militer Irak di Baghdad bahwa Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS, "sudah tidak rasional lagi". Dia menjadi sangat paranoid.

"Dia mengurangi pergerakannya dan menyembunyikan penampilannya," tulis sang informan. "Dia tinggal di ruang bawah tanah dan menggunakan terowongan-terowongan yang membentang ke berbagai tempat. Dia tidak pernah tidur tanpa mengenakan rompi bom bunuh diri yang dia ledakkan seandainya tertangkap."

Pesan teks itu adalah salah satu kesaksian yang terjadi dalam tubuh ISIS saat ini begitu pasukan Irak, Kurdi dan Amerika melancarkan operasi perebutan kembali benteng terkuat ISIS di Irak, Mosul.

Pesan-pesan teks ini, bersama wawancara dengan para pejabat senior Kurdi dan para ekstremis ISIS yang tertangkap, memperlihatkan gambaran rinci mengenai kelompok ekstremis itu dan kondisi psikologis pemimpin mereka.

Dari pesan-pesan teks itu tergambar bahwa ISIS dan pemimpinya masih tetap mematikan, namun bedanya kali ini mereka mencurigai siapa pun dan paranoid.

Pesan teks itu menyebutkan bahwa para pembelot atau informan setiap saat dieksekusi. Baghdadi, menjadi sangat curiga kepada orang yang dekat dia. "Dahulu dia kadang bercanda. Tetapi kini dia tidak lagi begitu," kata informan dalam pesan teks itu.

Informasi dari pesan teks itu tidak dapat dikonfirmasi, namun apa yang disebutkan sang informan selaras dengan pernyataan dua pejabat intelijen Kurdi, yakni Masrour Barzani, kepala Dewan Keamanan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) dan Lahur Talabany, kepala kontraterorisme dan direktur badan intelijen KRG.

Talabany dan para kepala intelijen lainnya menyatakan bahwa koalisi militer memang bergerak lamban namun mencapai kemajuan yang tegas dalam perang melawan ISIS.

Pasukan koalisi memiliki asset-asset tangguh di dalam kota Mosul, kata mereka, termasuk para informan terlatih dan warga yang memberikan pengamatan mendasar dengan mengirimkan pesan teks atau menelepon dari pinggiran kota Mosul. Beberapa dari informan itu memiliki keluarga di Kurdistan yang dibayar KRG.

Kurdi meyakini bahwa serangan militer ke Mosul yang dimulai 17 Oktober silam, telah membangkitkan rasa takut dan saling tidak percaya dalam tubuh ISIS. Untuk sementara waktu, kata mereka, obsesi ISIS membasmi siapa pun yang berkhianat telah mendorong para petempurnya bahu membahu mempertahankan Mosul. Namun obsesi itu juga mengartikan ISIS menjadi beralih memperhatikan internalnya sendiri di tengah fakta ISIS tengah dihadapkan pada ancaman sangat serius mengenai berakhirnya eksistensi mereka di Irak sejak mereka  mencaplok sepertiga wilayah Irak musim panas 2014.

Jumlah orang yang dieksekusi adalah isyarat jelas bahwa ISIS mulai terdesak, kata Karim Sinjari, menteri dalam negeri dan menteri pertahanan KRG yang nengendalikan wilayah Kurdi di Irak utara.

Sinjari mengatakan banyak petempur ISIS asal Irak kurang hasrat untuk berjihad seperti dilakukan para jihadis asing.

"Sebagian besar islamis garis keras yang bertempur sampai mati adalah para petempur asing. Masalanya jumlah petempur asing ini di garis depan semakin berkurang karena mereka terbunuh dalam pertempuran dan karena melancarkan serangan bom bunuh diri," kata dia.

Barzani mengatakan karena semakin paranoid, Baghdadi dan tangan kanan-tangan kanannya menjadi sangat sering berpindah-pindah sehingga kian mengurangi kemampuan ISIS mempertahankan Mosul.

Baghdadi, kata Barzani, "menggunakan segala taktik untuk bersembunyi dan melindungi dirinya, berulang kali pindah posisi, menggunakan cara bepergian yang berubah-ubah, tinggal di lokasi yang juga berubah-ubah, menggunakan komunikasi yang berbeda satu sama lain."

Bahaya SIM Card

ISIS semakin paranoid. Kekuasaannya di Suriah dan Irak sebagian besar mengandalkan jejaring luas intelijen yang memanfaatkan siapa pun, dari anak-anak sampai veteran perang mantan anggota Partai Baath untuk mematamatai Suriah dan Irak serta para pejabat ISIS sendiri.

Paranoid ini sudah pada tingkat tinggi begitu musuh-musuh ISIS merangsek maju. Kecurigaan tumbuh dalam beberapa pekan sebelum pasukan pemerintah mulai mengepung Mosul pertengahan Oktober silam.

Awal bulan lalu, para pemimpin ISIS membongkar komplotan dalam internal kelompok ekstremis itu untuk melawan Baghdadi, kata para warga kota Mosul dan pejabat-pejabat keamanan Irak.

Dirancang oleh seorang komandan ISIS, komplotan ini terbongkar ketika seorang pejabat keamanan ISIS menemukan sebuah SIM card berisi nama-nama para perancang "kudeta" dan menunjukkan keterkaitannya dengan para perwira intelijen AS dan Kurdi.

Balasan dari ISIS untuk ini sungguh brutal. ISIS membunuhi 58 tersangka komplotan itu dengan cara memasukan mereka ke kerangkeng-kerangkeng untuk kemudian ditenggelamkan, kata para warga kota Mosul dan pejabat Irak.

Setelah itu, ISIS mengeksekusi 42 orang lainnya dari kabilah-kabilah setempat, kata perwira intelijen Irak. Puluhan orang ini juga terbongkar gara-gara SIM card.

Kini, memiliki SIM card atau bentuk komunikasi elektronik lainnya akan otomatis dihukum mati, kata para warga yang berada di wilayah kekuasaan ISIS.

ISIS mendirikan pos-pos pemeriksaan di mana para militannya menggeledah orang-orang dan secara reguler merazia daerah-daerah yang terkena serangan udara AS karena para pejabat ISIS curiga warga telah membantu pasukan udara AS dalam mengidentifikasi sasaran-sasaran.

Informan yang mengirimkan pesan teks dari Mosul mengaku mengkhawatirkan keselamatan jiwanya. "Saya berbicara dengan Anda dari atap," tulis pesan itu. "Sebelum saya turun saya mesti menghapus pesan dan menyembunyikan SIM card."

Rekrut anak-anak jadi mata-mata

ISIS kini mengandalkan jejaring informan anak-anak yang mereka sebut "ashbal al khilafa" atau "anak-anak khilafah."

"Anak-anak kecil ini menguping dan menyebarkan informasi dari anak-anak lainnya mengenai ayah mereka, abang mereka, dan aktivitas mereka," kata Hisham al-Hashemi, penasihat pemerintah Irak dan pakar ISIS. "Di setiap jalan ada satu atau dua 'ashbal al khilafa' yang memata-matai orang dewasa."

Jejaring besar informan juga merugikan ISIS, kata Lahur Talabany, kepala kontraterorisme KRG. Kewalahan oleh informasi, ISIS mencurahkan banyak energinya untuk orang-orangnya sendiri ketimbang memata-matai musuh. Ini membuat mereka semakin paranoid.

"Setiap saat ada komplotan melawan Baghdadi," kata Talabany kepada Reuters. "Kami menyaksikan insiden-insiden semacam itu dalam hitungan pekan, dan mereka menyingkirkan orang-orang mereka sendiri."

Sampai beberapa bulan silam, kata Talabany, dia menanam informan dalam lingkaran terdalam Baghdadi: yakni seorang komandan ISIS yang pernah menjadi anggota Alqaeda.

"Dia orang Kurdi kelahiran Hawija," kata kepala spionase Kurdi ini, menolak mengungkapkan nama sang informan. "Dia pernah menjadi tahanan kami. Saya membebaskan dia setahun sebelum Daesh (ISIS) tiba."

Setelah ISIS menguasai Mosul, komandan yang beralih menjadi mata-mata Kurdi itu disusupkan ke ISIS dan direkrut sebagai perwira militer. Dari posisinya itu, dia memberi banyak informasi berharga setiap hari kepada Kurdi.

Agen mata-mata ini berkata kepada Talabany bahwa Baghdadi berkonsultasi erat dengan para pembantu utamanya, termasuk orang-orang Saudi yang dia sebut para pakar hukum Syariah. Ara Saudi memang mengakui sejumlah warganya menjadi anggota ISIS.

"Dia (si mata-mata) bilang pada saya bahwa Baghdadi memiliki karisma, dan koneksi, tapi itu tak cukupa.  Komisi-komisi di sekeliling dialah yang mengambil keputusan, bahkan dalam soal militer," kata Talabany.

Sang mata-mata berkata kepada Talabany bahwa dia pernah beberapa kali bertemu dengan Baghdadi dan berencana membunuh pemimpin ISIS ini. Tetapi sebelum komandan yang mata-mata Kurdi ini mewujudkan niatnya membunuh Baghdadai, ISIS keburu membongkar rahasia dia bahwa selama ini dia bekerja juga sebagai agen mata-mata. Beberapa bulan lalu, kata Talabany, ISIS menghukum mati mata-mata yang ditanamkan Kurdi di lingkaran dalam ISIS itu, demikian Reuters.


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016