Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nur Masripatin, memaparkan keterkaitan karbon biru alias blue carbon dan dokumen Niat Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) Indonesia dalam Kemitraan Karbon Biru, di Marakesh, Maroko.

Dalam diskusi konstruktif yang digelar untuk mengarusutamakan peranan karbon biru ke dalam upaya mitigasi dan adaptasi, di Jakarta, Sabtu, dia menyampaikan, Indonesia telah memiliki praktik-praktik konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan untuk wilayah pesisir dan laut di berbagai daerah.

Selain itu, ia mengatakan sebagai negara yang memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, maka Indonesia perlu melihat bahwa kemitraan tersebut memiliki nilai strategis. Peranan ekosistem pesisir dan laut sendiri telah diakui baik di dalam konvensi maupun Perjanjian Paris pada 2015.

Sebelumnya peranan ekosistem hutan telah dibahas sejak COP11 di Montreal (2005) dan diputuskan pada COP13 di Bali (2007), sehingga dalam NDC yang pertama, sektor lahan di Indonesia turut "membungkus" peranan ekosistem daratan, yang didalamnya termasuk ekosistem mangrove dan pesisir pantai.

Peranan ekosistem pesisir dan laut dalam NDC yang pertama, menyatakan, Indonesia telah mengintegrasikan bentuk mitigasi dari sektor lahan. Masripatin mengatakan, itu memang belum dinyatakan secara kuantitatif karena masih banyak hal teknis yang harus digarap.

Dia menyebutkan, setelah melalui perhitungan komprenshif dengan angka kuantitatif yang didapat akan dimasukkan secara bertahap pada NDC mendatang.

Bagi Indonesia, dia mengatakan, karbon biru sangat berpotensi dalam mendukung program nasional penurunan emisi, ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan, namun kompleksitas pengelolaan dan kapasitas pelaksanaannya masih memerlukan peningkatan dalam kajian untuk masa-masa mendatang.

Sebelumnya Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Perubahan Iklim, Achmad Poernomo, mengatakan, Indonesia memiliki potensi bakau seluas 3,11 juta Hektare dan padang lamun seluas 3 juta Hektare.

"Kita sudah memiliki peta jalan penelitian ekosistem pesisir dan laut dalam kerangka pengendalian perubahan iklim, namun belum sampai pada implementasi dari hasil-hasil penelitian itu," katanya. 

"Masih terdapat kesenjangan komunikasi antara pemegang kebijakan dan para peneliti, sehingga diperlukan komunikasi yang lebih intensif untuk dapat bersama-sama menyusun peta jalan karbon biru Indonesia," ujar dia.

Pewarta: Virna Setyorini
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016