JAkarta (ANTARA News) - Ia berasal dari Krawang, Jawa Barat. Mengaku orang Sunda, tapi namanya Supriyanto, kedengaran seperti nama Orang Jawa. Para pelanggan biasa memanggilnya Bang Jablai. Usia, 25 tahun. Pendidikan, SD (Sekolah Dasar). Pekerjaan, tukang jahit keliling roda tiga.

Bang Jablai setiap hari mulai pk 07.00 mengayuh sepeda yang dimodifkasi seperti becak, membawa mesin jahit yang nampak sudah tua. Ia mengais rejeki dari rumah ke rumah sampai senja. Terkadang, selepas Magrib ia baru pulang ke rumah kontrakan "satu pintu".

Rumah kontrakan itu berukuran sekitar 2 kali 2 meter. Ia tinggal di rumah itu bertiga bersama temannya, sesama profesi dan berasal dari desa yang sama. Sewa rumah kontrakan Rp300 ribu per bulan, dibayar bertiga secara patungan dengan jumlah yang sama.

Penghasilannya rata-rata sekitar Rp100-150 ribu per hari. Kadang-kadang bisa mencapai Rp500 ribu/hari kalau sedang ramai, biasanya di bulan puasa Ramahan. Kalau lagi sepi, minimal ia membawa pulang Rp50 ribu/hari.

Tarifnya, Rp10 ribu per potong. Ia hanya menajhit pakaian yang sobek, mengecilkan atau membesarkan baju dan celana sesuai perkembangan pertumbuhan badan pelanggan. Juga memendekkan atau memperpanjang lengan baju dan kaki celana. Ia tidak membuat baju atau celana baru.

"Terlalu rumit," katanya, seraya menjelaskan ia belajar secara "otodidak". Ia mengucapkan dengan lafal yang tepat kata yang berasal dari bahasa asing itu.

Supriyanto mengaku, ide untuk menjadi penjahit keliling berasal dari meniru orang-orang Pekalongan. Tapi, orang Pekalongan menaruh mesin jahit di samping sepeda, sedangakan ia dan kawan-kawannya dari Krawang menaruh mesin jahit di depan, seperti dipangku.

Sebelum menjadi penjahit keliling, ia bekerja sebagai tukang kebun sebuah keluarga. Lalu, ia bekerja di perusahaan konveksi dengan gaji rata-rata Rp200 ribu/minggu atau sekitar Rp1 juta per bulan. Tergantung, berapa potong ia mampu selesaikan. Ia lakoni profesi sebagai penjahit keliling sejak 2007.


Tengok istri sebulan sekali

Bang Jablai sudah menikah dengan orang Bekasi dan punya anak satu, masih kecil. Nama istrinya "Nama". Lho kok seperti itu namanya? Sambi terkekeh ia menjawab: "Ya, begitulah nama orang kampung, pemberian orang tuanya".

Anaknya sendiri diberi nama Renal Yulianto atas usul ayah Bang jablai, yakni Rojai. Ia membenarkan, Renal lahir bulan Juli. Apa ia berharap anaknya mahir main bola seperti Ronaldo, bintang sepak bola Portugal?

Ia hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan itu. Ia sendiri suka main sepak bola atau "futsal" dengan membayar Rp. 20 ribu sekali main. Ia mengenakan topi warna hijau dengan tulisan Portugal ketiga sedang bertugas keliling.

Istrinya tinggal bersama orang tuanya di Bekasi atau kadang-kadang di Krawang. Bekasi sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya yang terletak di kawasan Jakarta Selatan dan dapat dijangkau dengan mudah sekarang, tapi ia mengaku pulang menjenguk istrinya sebulan sekali.

Kenapa, apa tidak kangen dengan istri (dan anak)? Ia cuma tersenyum. "Ya, tergantung, kalau sudah ada uang, ya baru pulang," jawabnya polos.

Rupanya, Bang Jablai ingin tampil benar-benar sebagai pria perkasa di depan keluarganya: dengan uang di saku. Soal otot, jangan ditanya. ia menggenjot becaknya berkeliling sekitar 12 jam per hari, di samping rajin berolah raga.

Ia bekerja enam hari satu minggu. Jumat libur untuk beribadah, di samping waktu kerja pendek, karena ada kewajiban sholat Jumat. Penampilanya bersahaja, ceria, penuh syukur.

Usut punya usut, nama Jablai itu adalah singkatan dari: Jarang dibelai (oleh istri).

(A015/E001)

*Penulis adalah wartawan senior dan pengamat media

Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016