Manado (ANTARA News) - Perizinan pengoperasian pesawat bukan niaga dan niaga tidak berjadwal dengan pesawat asing semakin longgar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 109 Tahun 2016 Tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri Dengan Pesawat Udara Sipil Asing Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Maryati Karma saat ditemui dalam sosialisasi peraturan perundang-undangan di Manado, Kamis mengatakan PM tersebut menggantikan PM 66 Tahun 2015.

Maryati menjelaskan perubahan peraturan tersebut bertujuan mempermudah iklim usaha guna meningkatkan aktivitas ekonomi.

"Di sini kami menderegulasi persyaratan-persyaratan yang dilaksanakan untuk penerbangan di luar berjadwal, ini harus kita atur karena tetap berpegang pada keselamatan penerbangan," katanya.

Dia menuturkan penyederhanaan peraturan tersebut, meliputi persetujuan terbang (flight approval) yang sebelumnya harus didapatkan dari Menteri, tetapi saat ini bisa diberikan oleh Direktur.

"Karena mengejar-ngejar Pak Menteri itu susah, sementara permohonan izin datang-datang terus setiap harinya, kita kewalahan," katanya.

Selanjutnya, dalam permohonan persetujuan terbang, menurut Maryati, alokasi ketersediaan waktu terbang (slot time) dari unit kerja yang berwenang merupakan persyaratan wajib dalam penerbitan persetujuan terbang.

Dia menambahkan permohonan pengajuan persetujuan terbang wajib dilakukan selambat-lambatnya tiga hari kerja sebelum terbang kepada Direktur.

Sementara itu, lanjut dia, persetujuan atau penolakan terhadap pengajuan persetujuan terbang diberikan oleh Direktur paling lambat satu hari kerja sebelum terbang.

Lebih lanjut, Maryati menuturkan pesawat bukan niaga asing dan niaga tidak berjadwal (sewa) asing sebelumnya hanya boleh mendarat dan lepas landas di bandara internasional, kecuali untuk penerbangan VVIP/VIP (Presiden dan Mantan Presiden), bantuan kemanusiaan, pengisian bahan bakar, adanya tindakan melawan hukum dan keadaan darurat cuaca buruk.

Saat ini, dia mengatakan, ditambah untuk investasi dan wisata atau tujuan tertentu tidak bersifst komersil juga diperbolehkan mendarat dan lepas landas di bandara domestik asalkan mengantongi izin khusus dari Direktur Jenderal.

"Ini untuk memudahkan mereka para pelaku usaha yang ingin berinvestasi, ingin melakukan orientasi dengan pesawat pribadinya ke bandara-bandara tertentu, bisa dengan mengajukan izin khusus itu," katanya.

Izin khusus tersebut diberikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari kalender yang sebelumnya harus persetujuan Menteri, saat ini hanya setingkat Dirjen.

Terkait pengawasan, Maryati mengatakan seluruh persetujuan penerbangan akan dipantau oleh Otoritas Bandara dan bagi yang tidak mematuhi akan diberikan sanksi.

Namun, dalam Pasal 21, terkait penerapan sanksi juga diberikan kelonggaran yang awalnya tidak akan diperkenankan untuk melakukan pengurusan persetujuan terbang, tapi setelah perubahan tersebut masih diberikan waktu selama 180 hari untuk pengurusan izin terbang (flight clearance).

Maryati mengklaim bahwa perubahan PM tersebut masih memegang asas cabotahe, yaitu memperhatikan perlindungan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Asas cabotage ini harus kita jaga, jangan sampai kita langgar, termasuk juga peraturan internasionalnya," katanya.

Pewarta: Juwita TR
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016