Surabaya (ANTARA News) - Bank Indonesia memperkirakan gejolak pada nilai tukar rupiah dan saham karena "Trump Effect" mungkin akan hilang selepas Januari 2017, atau setelah Presiden AS terpilih itu memastikan kebijakan fiskal dan kabinet menteri yang akan menopang kebijakannya.

Dalam sebuah seminar di Surabaya, Kamis petang, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menuturkan setelah ketidakpastian di pasar keuangan karena "Trump Effect" hilang, maka pemulihan pertumbuhan ekonomi domestik akan berlanjut.

"Pasar menunggu pidato Donald Trump seperti apa, kabinet Trump seperti apa. Belum tentu yang diumumkan saat kampanye akan diwujudkan," ujarnya.

"Volatilitas karena Trump mungkin selesai di akhir Januari," kata Mirza, mantan pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Dia menyebut laju pertumbuhan ekonomi domestik akan kembali "normal" pada 2017, sejalan dengan proyeksi BI di laju pertumbuhan 5,0-5,4 persen pada 2017. Untuk tahun ini, Bank Sentral memperkirakan ekonomi tumbuh moderat di 5,0 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang menurut Mirza "normal" itu akan turut pula mendongkrak penyaluran kredit perbankan, sebagai sumber utama pembiayaan ekonomi.

Bank Sentral melihat kredit bank akan tumbuh 10-12 persen pada 2017, seiring dengan perbaikan kredit bermasalah, setelah pada 2016 kredit bermasalah perbankan masih stagnan di atas 3,0 persen.

"NPL (Non-Performing Loan/kredit bermasalah) akan segera peak dan tahun depan memabik sehingga ekspansi perusahaan bisa berlanjut," katanya.

"Trump Effect" mengemuka di pasar keuangan setelah perhitungan suara pemilihan umum Presiden AS yang dinilai akan dimenangkan kandidat Donald Trump.

Konglomerat Trump dikenal sebagai penganut kebijakan perdagangan yang proteksionis dan konservatif. Dalam mengelola fiskal, Trump pun menjanjikan ekspansi belanja dan kebijakan yang longgar dalam mengelola defisit anggaran sehingga memicu dugaan pemerintah AS akan mengandalkan penerbitan obligasi.

Terkait depresiasi nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan pada Kamis ini, Mirza berpendapat hal tersebut terjadi karena semakin meguatnya ekspetasi pelaku pasar tentang kenaikan suku bunga The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, pada Desember 2016.

Ekspetasi itu semakin menguat karena diumumkannya data perbaikan ekonomi AS pada Rabu malam (23/11) Waktu Indonesia Barat (WIB).

Sentimen positif untuk dan dari AS itu merembet ke pasar keuangan negara-negara yang "dihuni" dana modal dari AS, yang sebagian besar negara "emerging markets", termasuk Indonesia.

"Tidak perlu khawatir, ini temporer hingga nanti pengumuman dari The Fed pada 14 Desember 2016 dan kabnet Trump," ucap Mirza.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016