Sudah berapa intens dan bertubi-tubi para tokoh mengimbau agar media sosial tak digunakan sebagai sarana caci-maki dan menyebar kebencian serta fitnah?

Di ranah politik, berbagai kalangan politisi, juga para komisioner di Komisi Pemilihan Umum, Badan pengawas Pemilu, mengajak kontestan dalam pilkada dan tim suksesnya untuk menjauhi kampanye negatif dan hitam.

Ajakan untuk menciptakan alam maya yang penuh damai itu agaknya tak sepenuhnya diikuti sebagian netizen yang tampaknya sengaja menjadikan media sosial sebagai peranti menumpahkan uneg-uneg di benak dan perasaan mereka.

Yang paling mutakhir dari perbuatan tercela berupa caci-maki di atas batas kesopansantunan adalah cuitan yang dilontarkan pemilik akun Twitter bernama Pandu, yang melontarkan frasa: Bidah Ndasmu! Cacian keterlaluan itu ditujukan pada ulama kharismatik KH Mustofa Bisri, yang dikenal dengan sapaan Gus Mus.

Dinista dengan kata-kata kasar, bahkan terlalu kasar, menurut tokoh muda Nahdatul Ulama Ahmad Sahal, sikap memaafkan dan pengampunlah yang diperlihatkan oleh Gus Mus.

Penista yang diprediksi sebagai salah satu karyawan sebuah badan usaha milik negera (BUMN) itu oleh para netizen lain dimintakan maaf kepada Fadjroel Rachman, yang menjabat sebagai komisaris utama di BUMN tersebut. Namun, Gus Mus malah berkomentar: "maaf itu tak diperlukan karena kesalahannya mungkin hanyalah menggunakan bahasa khusus di tempat umum. Maklum masih muda," ujar Gus Mus, yang memohon jangan sampai si karyawan BUMN itu dipecat.

Dari kasus yang menyangkut Gus Mus di atas, publik bisa memperlakukan media sosial sebagai peranti netral, ibarat pisau, bisa untuk aksi positif dan negatif.

Dalam zaman yang menawarkan semakin banyak pilihan dalam hidup ini, agaknya media sosial bisa juga dianggap sebagai katup pengaman. Artinya, memberikan saluran bagi luapan emosional seseorang yang jika ditahan-tahan akan menimbulkan berbagai gangguan psikis.

Hidup di zaman ini memang memberikan banyak peluang untuk sukses, tapi bukankah banyak pula orang yang menjadi tertekan, depresi karena tak sanggup menghadapi tantangan yang demikian besar dan berat. Bagi mereka yang tak punya keahlian dan daya juang, menjadi penganggur adalah situasi yang sangat berat.

Di era ketika tekanan hidup belum sehebat sekarang, ketika solidaritas sosial masih menguat, menjadi penganggur tak begitu berat karena masih banyak sanak saudara yang menolong, sekadar memberikan tumpangan hidup dan makan ala kadarnya.

Persaingan yang semakin keras bisa juga menyebabkan seseorang yang tak sanggup menguasai diri dan emosinya menjadi gampang kalap dan emosional. Jika dia mempunyai ponsel cerdas dan sempat mengenyam pendidikan pada tingkat tertentu sehingga sanggup mengungkapkan emosinya secara verbal, uneg-unegnya akan dituangkan dalam bentuk cuitan di Twitter, status di Facebook, video di YouTube, foto di Instagram dan seterusnya.

Ekspresi politik atau ideologis pun bisa dimuntahkan dengan relatif leluasa di media sosial. Beda dengan media ruang publik riil, seseorang yang hendak mengekpresikan uneg-unegnya di media sosial berada dalam ruang privasi yang sering membuatnya lupa bahwa ungkapan yang ditulis di kamar tidur, atau di tempat privat lainnya, akan dibaca publik.

Itu sebabnya sikap pemaaf yang diperlihatkan oleh Gus Mus terhadap penistaan personal yang dilakukan pemilik akun Twitter bernama Pandu bisa dipandang sebagai sikap agung seseorang yang tak mudah termakan oleh caci maki dan tutur kebencian.

Bahkan sikap sufistik di cuitan yang berbeda juga dipertontonkan oleh Gus Mus, yang menulis dengan kalimat kurang lebih sebagai berikut: kita tak perlu marah atas kata-kata yang mungkin saja tercetus karena digerakkan oleh Allah untuk menguji kesabaran kita.

Betapa mulia sikap yang penuh maaf itu. Alissa Wahid, seorang aktivis sosial, mendoakan agar Allah memberikan keselamatan dan kesehatan pada orang-orang yang menjadi gurunya, seperti Gus Mus tentunya.

Dengan demikian, di media sosial pun publik bisa mendapatkan inspirasi yang menggerakkan emosi untuk menghayati betapa kebajikan bisa begitu indah daripada caci maki dan kebencian.

Media sosial bisa juga digunakan sebagai peranti pemelajaran berdemokrasi. Dalam demokrasi, sikap dewasa seperti kesabaran sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, ketika mendapat serangan verbal yang memuat fitnah dan kebohongan dari Donald Trump yang kini terpilih sebagai Presiden AS, Barrack Obama yang saat itu masih menjabat sebagai orang nomor satu di lembaga eksekutif AS tidak termakan untuk membalasnya.

Namun, rata-rata orang yang belum punya kematangan dan kedewasaan akan dengan mudah tersulut oleh fitnah dan caci-maki, meskipun disuarakan di media sosial, yang merupakan fenomena relatif baru bagi sejarah panjang evolusi psikis manusia.

Jadi sebaiknya tak perlu terlalu paranoid memandang fenomena caci maki dan ungkapan kebencian yang diunggah oleh netizen di ruang maya. Sekalipun demikian, tentu tak ada buruknya untuk tak henti-hentinya bernasihat positif, terutama kepada para remaja dan anak-anak yang mulai mengenal ponsel cerdas untuk berlaku verbal secara elegan dan hati-hati.

Bukan berarti bahwa yang berkata kasar itu buruk. Masalahnya perlu dilihat konteks wacananya. Ungkapan keras dan kasar yang dilontarkan pada penggangsir uang negara agaknya masih diterima sebagai sebuah kewarasan verbalisme.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016