Bagi sebagian besar warga Indonesia yang tinggal di kota besar seperti Jakarta persoalan kemacetan lalu lintas sudah menjadi hal "biasa" begitu pula kala mereka bertandang ke Manila, Filipina menemukan hal serupa.

Sejak mendarat di Bandara Internasional Ninoy Aquino dan menggunakan beragam sarana transportasi darat menuju Manila akan menemukan kemacetan. Apalagi ketika berada di jantung kota.

Sarana transportasi bagi pelancong dengan beragam urusan ke sana, yang paling efektif adalah menggunakan taksi dengan argometer dan tak tahu berapa peso yang akan dibayar setelah sampai tujuan atau menggunakan taksi dengan sistem pesan yang sudah diketahui jumlah uang yang harus dikeluarkan.

Meski demikian, taksi tak menjamin penumpangnya bisa sampai di tempat tujuan dengan waktu yang tepat sesuai prediksi sebelumnya, karena kemacetan cukup parah yang menghalanginya.

Ada pula sopir taksi yang mahir menghindari kemacetan dengan menelusuri jalan "tikus" melalui permukiman warga pinggiran yang sebagian terlihat kumuh, namun tetap juga tidak bisa sesuai waktu yang diprediksikan.

Sopir taksi setempat Fernando mengatakan, kemacetan tak bisa dihindarkan dan harus berani menerobos dan mendahului kendaraan lain, atau mencari jalur alternatif yang tak digunakan bagi kendaraan umum jika tidak banyak waktu yang terbuang.

Lucas Aditya jurnalis asal Indonesia mengatakan untuk menghadiri konferensi pers di salah satu hotel yang waktu tempuhnya diprediksikan 45 menit, ia harus bergerak dua jam sebelumnya. Sebab, jika tak dilakukan maka akan terlambat sampai di tempat tujuan itu.

Rombongan KBRI Indonesia untuk Filipina yang dipimpin langsung Dubes Johny Lumintang terjebak kemacetan ketika menuju Philippine Sports Stadium dan terlambat menyaksikan laga bergengsi antara Indonesia dan Filipina.

Mereka berangkat dari kantor sekitar pukul 16.00 waktu setempat untuk menyaksikan pertandingkan pukul 20.00, dan jarak tempuh jika normal sekitar tiga jam, namun mereka tiba hingga menjelang pukul 21.00.

Penyebab utama kemacetan adalah banyaknya kendaraan yakni pribadi dan umum (didominasi angkutan massal seperti bus dan jeepney--angkot) serta taksi baik sedan atau pun minibus.

Berbeda dengan di Indonesia, di Filipina tidak ada jasa ojek sepeda motor sehingga jika seseorang ingin buru-buru ke tempat tujuan tak bisa dilakukan seperti di Tanah Air.

Bahkan, di jalan raya tidak banyak sepeda motor karena warga setempat mengaku tidak nyaman dan aman berkendara menggunakan roda dua di jalan raya.

Seorang sopir taksi yang menggunakan sistem online secara pemesanan Manuel mengatakan warga Filipina enggan bersepeda motor karena bahayanya cukup tinggi yakni jika terjadi kecelakaan di jalan.

Ia pun kaget ketika dijelaskan warga Indonesia dalam satu keluarga bisa memiliki minimal satu sepeda motor bahkan ada yang lebih dari itu.

Selain itu, warga setempat, lanjut Manuel memilih angkutan umum karena lebih nyaman dan fasilitasnya tersedia.

Angkutan massal di Filipina khususnya di Manila berjalan baik seperti bus, jeepney (angkot) serta kereta listrik.

Bus kota mereka cukup bersih dan sebagian besar menggunakan pendingin ruangan ditambah aksesoris dan piranti lainnya yang terlihat mengkilap sehingga kian menambah nyaman penumpangnya.

Semua angkutan massal tersebut sesuai dengan jalurnya. Para sopir tidak berani melanggar trayek yang telah ditetapkan. Hal itu pernah dicoba oleh rombongan jurnalis peliput piala AFF Suzuki 2016 di Filipina ketika usai meliput latihan timnas Indonesia di Ridzal Memorial Stadium ingin ke Kedubes RI, semua sopir jeepney menolak karena bukan trayeknya. Bagaimana dengan di Indonesia?

Pemandangan yang sangat berbeda dibandingkan dengan di Indonesia ketika warga ingin menaiki angkutan umum.

Untuk naik jeepney atau bus kota, mereka harus berbaris secara rapih dan "mengular" sehingga tidak terlihat desak-desakan. Ketika kursi penuh, sopir pun langsung menjalankan kendaraannya, tidak dipaksakan penumpang duduk di bangku cadangan.

Sopir jeepney tidak memiliki kernet seperti angkot di Tanah Air. Untuk menarik ongkos, penumpang yang duduk di belakang sopir menjadi "asistennya" yakni mengumpulkan uang bahkan memberikan pengembaliannya. Semua dilakukan secara tertib dan tanpa ada yang kabur tidak membayar.

Soal tertib antre tidak hanya dilakukan warga di Manila yang akan menaiki angkutan umum. Di setiap tempat yang harus menunggu giliran mereka melakukannya. Di mini market misalnya, meski hanya membeli sebotol kecil air mineral yang harganya tidak begitu mahal, warga itu tak memaksakan untuk lebih dahulu dilayani dibandingkan mereka yang membeli lebih banyak.

Selain itu, ketertiban warga yang tidak membuang sampah sembarangan sehingga menjadikan kota terlihat bersih. Bagi perokok pun tak nampak melakukan aktivitasnya secara terbuka, seperti di Indonesia sambil bersepeda motor pun terselip sebatang rokok di mulutnya.

Itulah sekelumit pandangan mata terkait situasi Manila dibandingkan dengan Jakarta terutama dari sisi transportasi dan ketertiban warganya.

Namun bagi pendatang yang tidak tahu situasi dan kondisi tanpa ditemani warga setempat atau mereka yang telah mengetahui seluk beluk Manila, disarankan tidak pergi atau menuju tempat yang tak umum sendirian, karena peluang terjadi tindak kejahatan cukup terbuka. 

Oleh Triono Subagyo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016