Jakarta (ANTARA News) - Christopher Tobing dan temannya Jurian Andika, sebelumnya tidak pernah menyangka "ide gila" mereka bisa berdampak luas bagi masyarakat.

Suatu hari usai melakukan kegiatan kegemaran mereka, yaitu berlari bersama komunitas "iRun uRun", Christoper dan Jurian bercengkrama tentang impian yang ingin mereka capai di dunia mengayun kaki itu. Timbullah gagasan di luar akal sehat: pulang ke kampung halaman bermodal berlari.

Masalahnya, kedua sahabat tersebut kerja di Jakarta dan kampung halaman mereka ada di Sumatera. Jurian di Sumatera Barat dan Christopher di Sumatera Utara. Awalnya memang dirasa tidak mungkin, tetapi ternyata, alih-alih berlari "benaran" ke sana, mereka berdua punya jalan lain mewujudkannya.

Rencana pun disusun. Pulau Sumatera tetap menjadi tujuan, namun perjalanan akan dimulai dari Jakarta ke Bogor, Jawa Barat. Agar kegiatan itu tidak menjadi sekadar lari, ide lain tercetus. Mereka meminta partisipasi orang lain membiayai langkah kaki mereka. Bukan untuk dana perjalanan, tetapi membantu sesama, sama seperti yang dilakukan Oxfam Trailwalker di berbagai negara dan Roparun di Eropa.

"Kesannya kami ini lagi ngamen dengan berlari. Uangnya dikumpulkan untuk kegiatan sosial," ujar Christopher.

Demi memaksimalkan jumlah donasi, Christopher dan Jurian meminta pertolongan dari teman-temannya, baik dari dalam komunitas maupun dari luar. Tidak disangka, ternyata rencana mereka mendapat dukungan dan 50 orang yang bersedia ikut berlari Jakarta-Bogor, 28 Desember 2013.

Mula-mula, donasi yang selanjutnya diberikan kepada Yayasan Care 4 Kids Indonesia tersebut ditargetkan sejumlah Rp3,5 juta. Akan tetapi, ternyata mereka berhasil mengumpulkan dana Rp137 juta.

Terang saja Christopher dan Jurian senang bukan kepalang. Acara yang berawal dari celetukan tersebut ternyata ditanggapi dengan baik oleh banyak pihak. Kegiatan yang kemudian dikenal dengan nama "NusantaRun" itu pun dijadwalkan untuk dilaksanakan setiap tahun.

Demi menjamin keberlangsungan itu, dibentuklah sebuah lembaga nonprofit bernama Yayasan Lari Nusantara pada tahun 2014. Anggota intinya berjumlah 19 orang dan merupakan sukarelawan yang seluruhnya sudah memiliki pekerjaan tetap di luar NusantaRun.

NusantaRun akhirnya bisa terus berlangsung setiap tahun. NusantaRun "chapter" kedua dilakukan pada tahun 2014, mengambil rute dari Bogor sampai Bandung yang berjarak 118 kilometer. Donasi yang berhasil dikumpulkan adalah Rp549 juta.

Selanjutnya, "chapter" ketiga berlangsung pada tahun 2015 dari Bandung ke Cirebon yang berjarak 135 kilometer. Di masa itu mereka berhasil meraih donasi sebesar Rp1 miliar.

Pada tahun 2016, NusantaRun menargetkan donasi Rp1,5 miliar dari berlari sejauh 145 kilometer dari Cirebon (Jawa Barat) ke Purwokerto, Jawa Tengah, pada 16--18 Desember 2016. Dana itu akan dimanfaatkan untuk membangun sekolah menengah pertama inklusif di Purwokerto yang berada di bawah naungan Yayasan Intan Permata.

"Sumbangan digunakan untuk menyediakan gedung baru beserta fasilitas untuk SMP Intan Permata yang sampai saat ini masih menumpang di tanah wakaf. Kami akan membeli tanah seluas 760 meter persegi dengan gedung sekolah baru berstandar nasional di atasnya, dengan sedikitnya tiga kelas yang masing-masing bisa ditempati maksimal 40 siswa," tutur Jurian Andika.

Pelari Antar-Kota Antar-Provinsi (AKAP)

Jauhnya jarak tempuh pelari NusantaRun, mencapai 145 kilometer dan melewati batas provinsi, membuat pelarinya menamakan diri sendiri sebagai pelari AKAP atau ntar-kota antar-provinsi, istilah yang sering dipakai untuk bus umum.

Di dalam dunia atletik, jarak lebih dari nomor maraton 42,195 kilometer disebut ultramaraton. Tidak sembarangan orang bisa mengikuti nomor lari ini. Selain mesti dalam keadaan sehat 100 persen, pelari juga diharapkan sudah pernah mengikuti kompetisi, turnamen atau kegiatan lari dengan catatan waktu resmi.

Syarat yang ketat ini diterapkan pula dalam NusantaRun. Itu belum lagi ditambah komitmen pelari untuk bersusah payah mencari donor yang mau "membayar" keringat mereka untuk donasi. Mereka juga diwajibkan membayar uang pendaftaran sebesar Rp450.000 per orang.

Adapun NusantaRun ini terbagi dalam tiga nomor, yaitu lari penuh dari "start" sampai "finish", kemudian lari estafet atau bersambung dan ketiga lari "half distance" atau setengah jarak tempuh. Nantinya terdapat lokasi check point atau tempat beristirahat di setiap 15--17 kilometer.

Satu catatan penting, karena sifatnya bukan kompetisi, NusantaRun tidak menyediakan hadiah apapun bagi pelari tercepat.

"Juara NusantaRun tidak dinilai dari lari, tetapi dari dua hal, yaitu pertama, besar donasi yang berhasil dikumpulkannya dan kedua, seberapa banyak donatur yang terlibat dalam transaksinya. Bagi mereka yang berhasil memenuhi dua hal itu, nantinya akan dapat hadiah dari sponsor," tutur Christoper.

Akan tetapi, semua susah payah itu tidak dihiraukan oleh pelari. Walau tidak mendapatkan apa-apa dari NusantaRun, mereka tetap memberikan kemampuan maksimal saat kegiatan. Bagi mereka, segala emosi, letih dan rasa lapar terbayar ketika menyentuh garis "finish", saat di mana tanggung jawab terhadap donatur digenapi.

"Kami juga menemukan teman-teman baru. Apa yang kami rasakan saat NusantaRun membuat pelari mau tidak mau menjadi dekat," ujar Amelia Chan, pelari perempuan asal Jakarta yang pada NusantaRun 2015 berhasil menyelesaikan lari sejauh 77 kilometer.

Menurut Amelia, berlari di jalanan lintas provinsi bersama kendaraan umum yang berseliweran merupakan pengalaman tidak terlupakan. Belum lagi kalau mengingat bagaimana dia "menodong" orang-orang untuk berdonasi, Amelia menganggap itu usaha keras yang membuatnya semakin kreatif.

Sebab, untuk ikut NusantaRun 2016, dia tidak hanya mengandalkan ajakan donasi, tetapi membuat inovasi dengan menjual kue nastar dengan merek "NastaRun". Karena jarak lomba Cirebon sampai Purwokerto adalah 145 kilometer, dia menjual kue di dalam toples plastik itu seharga Rp145.000.

"Saya tidak enak kalau cuma nodong doang, akhirnya jualan yang semua hasilnya digunakan untuk donasi. Teman-teman yang lain juga begitu, ada yang berdagang di garasi (garage sale), membuat aksesoris dan lain-lain," kata Amelia.

Ingin Mendunia
Christopher dan Jurian bercita-cita menjadikan ajang NusantaRun sebagai kegiatan berlari keliling Indonesia. Berawal dari Jakarta pada tahun 2013, lanjut ke arah Jawa bagian timur, Bali dan seterusnya sebelum kembali lagi ke Jakarta.

Meski begitu, mereka membatasi jarak NusantaRun hanya maksimal sejauh 100 mil atau sekitar 160 kilometer. Artinya, mereka memperkirakan, NusantaRun baru bisa "finish" kembali di Jakarta 55 tahun kemudian.

"Artinya kami sudah usia pensiun. Hahaha...," kata Christopher, yang kini berusia 30 tahun, tertawa.

Dalam dua sampai tiga tahun ke depan, dua sahabat itu berharap NusantaRun bisa mendunia dan menerima pendaftaran dari pelari mancanegara. Mereka membayangkan sebuah organisasi NusantaRun yang solid, dari sisi teknis dan sumber daya, sehingga dapat mengundang peserta dari berbagai belahan dunia yang berlari untuk membantu masyarakat Indonesia yang membutuhkan pertolongan.

Selain bisa membantu lebih banyak orang, hal itu tentu dapat mendatangkan wisatawan mancanegara berkunjung ke Tanah Air. Sehingga tujuan mereka mengadakan NusantaRun yaitu untuk olahraga, wisata dan gerakan sosial, semakin terpenuhi.

"Kami memang belum menjalin komunikasi dengan pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pariwisata, hanya pendekatan ke Dinas Pemuda dan Olahraga di provinsi yang kami lewati. Namun pasti segera kami lakukan," ujar Jurian Andika.

Yang jelas, Christopher dan Jurian belum kumandangkan jeda. Selama masih ada warga Indonesia, khususnya anak-anak, mengulurkan tangan demi kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, NusantaRun mengikrarkan diri terus berlari. Berlari sampai waktu mengakhiri. 

Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016