... saya pesan hati-hati saja...
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden masa pemerintahan Susilo Yudhoyono, Boediono, mengingatkan pemerintah berhati-hati atas wacana memperlebar defisit anggaran lebih dari tiga persen. Boediono selain teknokrat ekonomi juga berpengalaman sebagai birokrat di eksekutif dan bank sentral.

"Kalau ada wacana kita lepaskan ini (defisit tiga persen), saya pesan hati-hati saja. Karena kita bisa saja akan kembali ke masa APBN jadi sasaran tarik-menarik yang besar dan bisa lepas kendali," ujar Boediono, saat menjadi pembicara dalam seminar "Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa Ke Masa", di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, memang sempat ada wacana memperlebar defisit anggaran yang saat ini maksimal tiga persen sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. 

Wacana itu muncul seiring kekhawatiran program pengampunan pajak tidak berjalan optimal sesuai target pemerintah.

Sejumlah negara di Asia defisit anggarannya lebih dari tiga persen, di antaranyaVietnam yang mencapai 5,4 persen pada 2015 lalu dan India yang mencapai 3,9 persen pada tahun lalu.

Kendati demikian, pemerintah sendiri sudah mengkonfirmasi tetap akan menggunakan defisit anggaran sesuai dengan amanat UU, yakni maksimal tiga persen dan tidak ada rencana mengubahnya.

Boediono kembali mengingatkan, pada dasawarsa 50-an hingga pertengahan '60-an, APBN saat itu bagian dari masalah, bukan solusi. Ia menuturkan, pada saat itu APBN mengalami proses yang lepas kendali.

"Mula-mula tidak berat, terus jadi lepas kendalinya. Ini jadi pengalaman yang luar biasa setelah itu, jangan sampai APBN menjadi penyebab krisis. Makanya rambu-rambunya ada," ujar Boediono.

Oleh karena itu, lanjut Boediono, ia berharap dan mengingatkan agar wacana memperlebar defisit anggaran perlu difikirkan dengan lebih matang dan lebih hati-hati untuk direalisasikan, karena risiko yang akan dihadapi sangat besar. 

Boediono masuk ke birokrasi pemerintahan pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998) sebagai menteri negara perencanaan pembangunan/kepala Bappenas, lalu menjadi menteri keuangan pada Kabinet Gotong Royong (2001). Masa itu adalah peralihan kepemimpinan dari KH Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri, yang dilantik menjadi presiden pada 23 Juli 2001. 

Pada masa itulah --berkat kerja tim perekonomian yang solid dengan Boediono sebagai salah satu anggotanya-- Indonesia bebas dari bantuan IMF sekaligus mengakhiri "kerja sama" dengan institusi keuangan internasional itu. 

Majalah Business Week saat itu menyatakan, Boediono yang dikenal sebagai orang yang bersih, merupakan salah satu menteri di Kabinet Gotong Royong yang paling berprestasi. 

Bersama Menteri Koordinator Perekonomian (saat itu), Dorodjatun Kuntjoro Jakti, keduanya dikatakan sebagai The Dream Team, karena mereka berdua dinilai berhasil menguatkan stabilitas makroekonomi nasional yang belum sepenuhnya pulih dari badai krisis moneter 1998. 

Prestasi lain saat itu, rupiah stabil di posisi Rp9.000/dolar Amerika Serikat. Belakangan ini rupiah cenderung melemah beberapa poin, di kisaran Rp13.500/dolar Amerika Serikat. 

Boediono juga menjadi menteri koordinator bidang perekonomian pada pemerintahan Susilo Yudhoyono (2008) dengan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan. Kelak Mulyani menggantikan dia di posisi itu setelah Boediono dilantik menjadi gubernur Bank Indonesia. 


Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016