Bantul (ANTARA News) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat setidaknya 15 desa di daerah ini masuk zona rawan longsor.

"Hasil kajian kita itu ada 15 desa yang sebagian wilayahnya masuk zona merah rawan longsor. Desa-desa itu tersebar di hampir semua kecamatan," kata Pelaksana Harian Kepala BPBD Bantul, Dwi Daryanto di Bantul, Sabtu.

Menurut dia, belasan dari total 75 desa di 17 kecamatan itu masuk zona rawan longsor karena wilayahnya berada di lerang-lereng perbukitan atau dataran tinggi, kemudian terdapat tebing yang struktur tanahnya berongga sehingga mudah bergerak.

Desa yang masuk zona rawan longsor di antaranya, Desa Srimartani dan Srimulyo Piyungan, Desa Selopamioro, Sriharjo dan Girirejo Imogiri, Desa Seloharjo Pundong, Desa Mangunan dan Temuwuh Dlingo, serta Desa Triwidadi dan Sendangsari Pajangan.

"Total warga yang tinggal di kawasan zona merah tanah longsor sebanyak 2.335 keluarga (KK), kalau dirata-rata dalam satu keluarga ada empat jiwa, maka jumlah jiwanya mencapai sembilan ribu lebih," katanya.

Dwi mengatakan, masih adanya bahkan banyak warga Bantul yang tinggal di zona rawan longsor itu di antaranya karena pemekaran keluarga karena tumbuhnya keluarga baru, sementara tanah di daerah tersebut merupakan satu-satunya milik keluarga.

"Prinsipnya warga yang tinggal di daerah rawan bencana harus memahami kondisi dan risiko jika sewaktu-waktu bencana datang. Dan rata-rata di semua desa itu sudah ada FPRB (forum pengurangan risiko bencana) yang sangat luar biasa," katanya.

Selain itu, pihaknya mengimbau warga yang tinggal di lereng perbukitan kalau mau membangun rumah memperhatikan kondisi sekitar, kalau terpaksanya tetap membangun, perlu dibuat terasiring pada tebing sekitar rumah untuk meminimalisir longsor.

"Paling tidak kalau mau bangun jangan mepet tebing untuk keselamatan, dan konstruksi bangunan harus kuat. Syukur-syukur dibuat terasiring, karena kejadian tanah longsor selama ini karena tebing tidak dibuat terasiring," katanya.

Pewarta: Heri Sidik
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016