Washington (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump mengisyaratkan untuk mengambil pendekatan yang keras terhadap China dengan berbicara langsung kepada Presiden Taiwan pekan lalu. Di sini, Trump menguji dirinya mengenai seberapa jauh dia bisa meminta konsesi-konsesi kepada China mulai dari soal perdagangan sampai masalah Korea Utara.

Pembicaraan telepon antara Trump dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen sendiri adalah pertama kalinya seorang presiden terpilih AS atau presiden AS berbicara langsung dengan seorang pemimpin Taiwan sejak Presiden Jimmy Carter mengalihkan pengakuan kedaulatan dari Taiwan kepada China pada 1979.

Tindakan Trump itu sendiri memicu kemarahan China. Pemerintahan Presiden Barack Obama sudah memperingatkan Trump bahwa langkah itu bisa menghancurkan kemajuan hubungan AS-China yang selama ini telah dibangun secara hati-hati baik oleh presiden asal Republik maupun presiden asal Demokrat.

Para analis bahkan yakin langkah itu bisa memicu konfrontasi militer terbuka dengan China jika langkah Trump sudah terlalu jauh.

Namun Trump dan Wakil Presiden terpilih Mike Pence berusaha melupakan arti penting pembicaraan sepuluh menit dengan pemimpin Taiwan itu dengan mengatakan bahwa itu semata basa basi politik yang tidak bakal menggeser kebijakan luar negeri AS.

Masalahnya, Trump malah meniup bara api ketika Minggu waktu setempat lalu mengeluhkan kebijakan ekonomi dan militer China via Twitter. Sudah begitu, penasihat ekonomi Trump, Stephen Moore, makin membuat runyam suasana dengan menyatakan jika China tidak suka atas tindakan Trump kepada Taiwan itu, maka "peduli amat".

Para analis, termasuk para mantan pejabat senior AS, menyebut langkah Trump itu paling tidak merupakan pukulan terhadap China dan merupakan isyarat bakal ada pendekatan lebih keras terhadap China, di antaranya rencana memperbesar penggelaran militer AS sebagai bagian dari meningkatnya kekuatan China di Asia Pasifik.

Jon Huntsman, yang disebut-sebut calon menteri luar negeri kabinet Trump, meyatakan akhir pekan ini bahwa Taiwan mungkin batu loncatan dalam menghadapi China.

Penasihat Trump, Peter Navarro, dan mantan duta besar AS untuk PBB John Bolton, setali tiga uang dengan menyatakan manuver ke Taiwan itu sebagai tekanan kepada China untuk mundur dari nafsu teritorialnya di Asia Timur.

Tapi di mata Evan Medeiros, bekas pejabat yang pernah menjadi penasihat Presiden Barack Obama untuk urusan Asia Timur, langkah Trump itu sangat berisiko tinggi.

"Inilah kenyataannya: China memberi tahu kita semua sejelas-jelasnya pada pertengahan 1990-an bahwa masalah Taiwan adalah menyangkut perang dan damai. Itukah proposisi yang mesti diujikan AS?" kata Medeiros dalam laman Reuters.

Douglas Paal, mantan pejabat Gedung Putih pada pemerintahan presiden dari Republik dan pernah menjadi duta AS di Taiwan pada 2002-2006, malah mengatakan Trump masih terbelenggu masa silam pada era 1990-an ketika China saat itu jauh lebih lemah dan AS sebaliknya lebih kuat, sehingga Trump berani keras terhadap China.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016