Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen sampai 5,3 persen tahun 2017.

"Artinya lebih tinggi sedikit daripada pertumbuhan 2016 yang diperkirakan mencapai lima persen," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Harga komoditas dan energi yang membaik serta perekonomian global yang mulai pulih diperkirakan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia.

Namun menurut Bappenas pertumbuhan ekonomi tahun depan akan sangat tergantung pada efektifitas kebijakan pemerintah dalam mitigasi risiko ekonomi baik dari eksternal maupun domestik.

Di sisi eksternal, Bappenas menyebut risiko terbesar berasal dari naiknya utang dan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) China yang berdampak pada perlambatan ekonomi negara tersebut yang diperkirakan 6,6 persen tahun ini menjadi 6,3 persen pada 2017.

Hasil simulasi Bappenas menunjukkan kebijakan China akan berdampak pada perlambatan ekonomi Indonesia sebesar 0,03 persentase poin (pp) pada 2016 dan 0,72 pp pada 2017 terhadap baseline.

"Dampak terbesar melalui jalur investasi yang turun sebesar 1,02 pp," kata Bambang.

Risiko eksternal lainnya berasal dari Amerika Serikat, dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Kebijakan proteksionis yang ditawarkan Trump dalam kampanyenya akan berdampak negatif terhadap tingkat keyakinan pasar, tidak hanya bagi pengusaha atau investor di AS, tetapi di seluruh dunia.

Jika Trump menjalankan kebijakan ekonomi sesuai dengan yang dia janjikan saat kampanye maka itu akan berdampak pada perlambatan ekonomi dunia, tak terkecuali Indonesia.

Simulasi Bappenas menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 0,04 pp pada 2016 dan 0,41 pp pada 2017 terhadap baseline jika terdampak kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Sumber penurunan terbesar dari investasi, yang diperkirakan turun 0,89 pp dari baseline.

Sementara risiko domestik bersumber dari aktivitas sektor swasta yang cenderung terbatas, dengan indikasi rendahnya pertumbuhan kredit perbankan.

"Pertumbuhan kredit yang melambat, sekarang di bawah 10 persen, ini adalah yang paling lambat sejak 2009 saat awal commodity booming. Berarti sekarang adalah akhir commodity booming," kata Bambang.

Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan kredit perbankan, menurut Bappenas, adalah meningkatnya risiko perbankan yang tercermin dari kenaikan NPL yang mencapai 3,1 persen pada September 2016, dan kemudian akan berdampak negatif terhadap kinerja investasi.

Berdasarkan simulasi Bappenas, ketika kenaikan NPL dan penurunan pertumbuhan kredit terus berlanjut maka pertumbuhan pada 2016 dan 2017 diperkirakan lebih rendah 0,04 pp dan 0,34 pp dibandingkan baseline.

Penurunan pertumbuhan ekonomi didorong turunnya pertumbuhan investasi sebesar 0,15 pp pada 2016 dan 1,01 pp pada 2017.

Risiko domestik selanjutnya yakni pola penundaan penyerapan anggaran investasi pemerintah yang akan menimbulkan risiko terkoreksinya pertumbuhan ekonomi dari skenario pola penyerapan secara merata di setiap triwulan.

"Semakin merata pencairan anggaran, semakin baik untuk pertumbuhan ekonomi kita. Kalau ada penumpukan di akhir tahun atau penundaan di awal itu akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan," ujar Bambang.

Perbaikan pola penyerapan anggaran 2017, menurut Bappenas, berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,14 pp, dan perbaikan realisasi anggaran hingga 100 persen dari rencana akan membantu perbaikan kinerja ekonomi tahun depan.

Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016