Aleppo, Suriah (ANTARA News) - "Kami hidup di dalam neraka, dan tak ada yang lebih buruk dibandingkan dengan hidup kami di bawah kekuasaan gerilyawan!" kata seorang warga yang menyelamatkan diri dari daerah yang dikuasai gerilyawan di bagian timur Kota Aleppo.

Omar Qulleh, ayah empat anak, kini berada di daerah yang dikuasai pemerintah setelah hidup di bawah kekuasaan gerilyawan selama empat tahun. Ia mengatakan hidupnya telah bertambah buruk dalam enam bulan belakangan, ketika daerah yang dikuasai gerilyawan dikepung oleh militer Suriah.

Ia mengatakan situasi sebelum pengepungan sudah buruk, dan keadaan bertambah parah lagi!

"Kami telah mengalami ketidak-adilan dan kelaparan tapi kami tetap bersabar," kata Qulleh kepada Xinhua, yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu malam, setelah tiba di tempat penampungan sementara di Kota Kecil Jibreen, sebelah selatan Aleppo.

Qullah adalah satu dari ribuan orang yang telah menyelamatkan diri dari Aleppo Timur selama dua pekan belakang, ketika militer meningkatkan serangan besar guna mengusir gerilyawan dari kota itu.

Pasukan militer yang dikung oleh petempur Syiah dan serangan udara Suriah telah merebut kembali kendali atas lebih dari 85 persen Wilayah Aleppo Timur, setelah melakukan pengepungan selama berbulan-bulan atas bagian kota tersebut.

Serangan militer dilancarkan setelah gerilyawan menolak beberapa seruan untuk meninggalkan kota itu secara damai.

Qulleh berbicara mengenai kondisi sulit di Aleppo Timur sebelum ia pergi meninggalkan wilayah tersebut.

Sebelum pengepungan, semua barang sangat mahal di Aleppo Timur, sebab gerilyawan memasukkan barang dari Jalan Castello di pinggiran utara Aleppo, terutama dari Turki.

Namun setelah militer Suriah merebut kembali Castello, Aleppo Timur telah menghadapi pengepungan.

Pria yang berusia 50 tahun itu mengatakan gerilyawan mulai melucuti bahan makanan dasar, seperti roti, dari warga, dan pada saat yang sama menyimpan barang tersebut buat diri mereka.

"Gerilyawan memberi kami beberapa roti setiap dua hari. Anak lelaki kecil saya biasa bangun setiap hari sambil menangis kelaparan. Ia akan berkata kepada saya, Saya mau roti, saya lapar."

Istrinya, Amira, duduk di sebelah dia di tikar tipis tepat di luar tempat seperti asrama, tempat ratusan keluarga tidur pada malam hari.

Kaum perempuan, dengan wajah pucat karena sakit, berbicara terbata-bata saat mengingat bagaiman kehidupan mereka cuma dua hari sebelumnya.

Amira, ibu dari empat anak --sementara dua di antara mereka sakit, dengan pahit mengenang ketidak-berdayaan dan kepedihan yang dideritanya selama berbulan-bulan. Sementara itu anak-anaknya menangis karena kelaparan dan jatuh sakit akibat kekurangan makanan dan obat.

"Hanya Tuhan yang mengetahui bagaimana kami bertahan hidup dengan semua penyakit, kekhawatiran serta kekurangan semuanya. Gerilyawan biasa menyiksa kami. Mereka tak mau memberi kami roti, sekalipun mereka memilikinya di gudang."

Ketika gerilyawan merebut Aleppo Timur pada 2012, sedikit warga telah pergi ke daeah yang dikuasai pemerintah, terutama mereka yang memiliki cukup uang untuk hidup secara bermartabat, tapi buat orang miskin seperi Qulleh, bukan itu masalahnya, sebab ia tetap tinggal di rumahnya adalah satu-satunya pilihan yang bermartabat.

Akan tetapi saat kondisi memburuk dan pengepungan bertambah ketat terhadap daerah mereka, ia mengatakan ia ingin pergi tapi gerilyawan tidak mengizinkan dia dan keluarganya pergi, terutama setelah pemerintah beberapa kali mengeluarkan seruan agar warga sipil diizinkan meninggalkan Aleppo Timur.

Istrinya berbicara mengenai taktik menakut-nakuti yang digunakan gerilyawan untuk menghalangi warga sipil meninggalkan Aleppo Timur.

"Ketika kami memberitahu mereka kami ingin pergi, mereka menuduh kami ingin pergi dan tinggal di bawah kekuasaan tirani ... mereka mengatakan militer akan membunuh kami," kata Amira.

Tapi dia dan suaminya mengatakan ketakutan semacam itu telah pupus ketika gerilyawan mundur dari permukiman mereka, Salihin. Saat itu lah mereka memutuskan untuk pergi, setidaknya untuk sementara.

(Uu.C003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016