Moratorium ujian nasional mendapat dukungan dari kalangan pakar pendidikan namun juga mendapat tentangan dari sejumlah kalangan pendidik.

Kontroversi perlu tidaknya pemerintah menyelenggarakan ujian nasional sebenarnya cukup kerap terjadi. Pada pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kontroversi itu juga cukup mewarnai perbincangan nasional mengenai evaluasi pendidikan secara nasional.

Kini, para pendukung penghapusan ujian nasional semakin menguat dan di bawah pemerintahan Joko Widodo, keputusan yang hendak diambil adalah memoratorium ujian nasional.

Argumen tentang dampak buruk ujian nasional yang lebih besar daripada dampak positifnya sudah cukup sering dikemukakan.

Terbukti selama ini bahwa ujian nasional melahirkan banyak kecurangan, kebocoran soal ujian, hilangnya integritas guru dalam memutuskan nilai yang hendak diberikan kepada siswa secara objektif .

Yang agak menimbulkan situasi ketidakadilan dalam penyelenggaraan ujian nasional adalah kondisi pendidikan di Tanah Air yang kurang merata secara kualitatif.

Bagaimana bisa adil jika siswa di Papua, misalnya, yang serba kurang dalam fasilitas dan kualitas pendidik, diuji dengan soal nasional yang sulit bagi mereka tapi terpahami oleh siswa di kebanyakan sekolah di kota-kota besar di Jawa?

Para pendukung penyelenggaraan ujian nasional selalu mendasarkan argumen mereka pada fakta yang terjadi di negara-negara maju yang menerapkan ujian nasional untuk parameter bagi kualitas pendidikan di negara bersangkutan.

Pemerhati pendidikan Doni Koesoema yang mendukung moratorium ujian nasional mengatakan secara pedagogis , ujian nasional tak mampu memotret otentisitas pengalaman belajar siswa.

Artinya, belajar sebagai proses peningkatan pengetahuan adalah sebuah pengalaman unik untuk tiap individu yang tak bisa dievaluasi secara kuantitatif melalui ujian nasional.

Apalagi soal-soal ujian nasional yang berbentuk pilihan ganda, yang jelas tak bisa digunakan sebagai parameter untuk melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam berinteraksi dalam proses belajar.

Evaluasi pendidikan yang menyeluruh yang menyangkut semua aspek perkembangan kognitif dan psikis siswa tak bisa dilakukan dengan menyelenggarakan ujian nasional.

Tampaknya, ujian nasional yang selama ini lebih banyak menelan dana triliunan rupiah untuk biaya mulai dari pembuatan materi ujian, biaya distribusi, biaya honor pengawas, perlu dibenahi secara komprehensif.

Andaikan moratorium itu diputuskan dan ujian nasional ditiadakan, pengalihan dana yang selama ini dialokasikan untuk biaya penyelenggaraan ujian nasional itu menjadi wacana yang layak diperdebatkan secara terbuka sebelum pemerintah memutuskan mau dialokasikan ke mana dana itu.

Ada sejumlah pilihan untuk memanfaatkan dana ujian nasional itu bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air. Pilihan pertama adalah mengalihkan dana itu untuk memperbaiki sarana gedung sekolah yang rusak bahwa terancam ambruk di beberapa wilayah.

Pilihan lain adalah memanfaatkan dana itu untuk meningkatkan kualifikasi guru-guru, terutama guru-guru yang belum memiliki kompetensi yang disyaratkan sebagai seorang pendidik sesuai dengan jenjang pengabdian mereka.

Para pendidik yang selama ini terbiasa mengajar secara konvensional yang lebih banyak melakukan transfer pengetahuan secara satu arah, perlu diberi pelatihan untuk menjadi guru yang sanggup mengajar secara interaktif.

Tiadanya ujian nasional sesungguhnya sama halnya dengan memberikan hak bagi pendidik untuk secara mandiri melakukan evaluasi terhadap siswanya. Bagi guru-guru yang kreatif, memiliki kedalaman pengetahuan sebagai pendidik, situasi ini akan disambut dengan suka cita.

Artinya, mereka diberi kekuasaan untuk melakukan evaluasi berdasarkan pergumulan mereka selama dengan siswa. Penilaian yang demikian tentu akan lebih objektif karena guru berinteraksi dengan siswa setiap hari.

Dalam kondisi demikian, tak akan pernah ada siswa yang bodoh mendapat nilai tinggi dalam ujian nasional karena mendapat bocoran soal-soal ujian.

Namun, bagi guru yang tak kreatif, yang belum berpengalaman, upaya mengevaluasi proses belajar siswa bukan hal yang mudah dan sederhana. Mereka cenderung senang dengn ujian nasional karena kunci jawaban sudah tersedia dan guru tak perlu menilai secara komprehensif siswanya.

Tentu pengambil keputusan bidang pendidikan di tingkat pusat mesti memihak pada guru-guru yang kreatif dan dengan demikian bagi guru-guru yang belum punya kemampuan mengevaluasi siswa secara mandiri inilah program pelatihan guru perlu diberikan.

Di era demokratis pascareformasi, hasil proses belajar siswa selama di sekolah sudah tidak lagi dijadikan parameter untuk penerimaan tenaga kerja. Hal ini sesungguhnya bisa dijadikan pembenar bahwa ujian nasional memang seharusnya tak perlu diselenggarakan lagi.

Jika secara objektif ilmiah argumentatif, kemubaziran ujian nasional sudah terang benderang dipahami kalangan pakar pendidikan, secara birokratis dan dalam kadar tertentu secara politis, ujian nasional masih dipandang punya sisi-sisi positif yang bisa dipertahankan.

Namun, argumen mereka yang mempertahankan ujian nasional tak beranjak dari proposisi bahwa hanya ujian nasional yang bisa digunakan untuk melihat kualitas pendidikan nasional.

Argumen ini bisa dipatahkan dengan argumen tandingannya bahwa apa gunanya ada parameter tapi tak sanggup memperbaiki mutu pendidikan itu sendiri.

Yang menarik, banyak pendidik , bahkan kepala sekolah, di daerah yang merasa bahwa mereka belum tahu apa yang akan mereka perbuat ketika ujian nasional diputuskan tak diselenggaran pada tahun ajaran 2016-2017.

Pada titik ini peran komite pendidikan, yang antara lain melibatkan pakar pendidikan, perlu lebih aktif menjalankan fungsi penyuluhan.

Oleh M Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016