... dalam posisi tiarap sambil beristighfar. Brukkk..brukkk... atap beton itu runtuh. Sayapun terus menyebut-nyebut nama asma Allah dan meminta Mustajab mengikuti doa-doanya itu...
Pidie, Provinsi Aceh (ANTARA News) - Banyak pengalaman yang menegangkan yang terlontarkan oleh warga Kabupaten Pidie Jaya, Aceh yang menjadi korban gempa tektonik berkekuatan 6,5 pada skala Richter, Rabu (7/12).

Kisah-kisah itu tidak akan habis-habisnya jika diceritakan kembali dan menjadi pengalaman kelam seumur hidup bagi korbannya. Seperti kisah dua aktivis remaja Masjid Baitul Muttaqin di Gampong Kayee Jatoe, Bandar Baru yang nyaris nyawanya melayang tertimpa bangunan rumah ibadah tersebut.

Kedua orang itu Safrial (23) dan Mustajabah (28), keduanya hampir setiap hari tidur di masjid yang menjadi kebanggaan bagi Gampong Kayoe Jatoe yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Meureudu.

"Seperti biasanya saya bersama teman saya, Mustajabah tidur di masjid pada Selasa (6/12) malam," katanya kepada Antara saat menunjukkan posisi dirinya saat tertimpa bangunan masjid itu.

Saya berdua tidur di pojokan masjid, itu lapak saya tidur di masjid, katanya.

Tidak ada firasat sama sekali akan tertimpa musibah tersebut. "Seusai mengaji pada tengah malam, kami pun beristirahat," katanya.

Tidur malam itu benar-benar lelap karena pada siang harinya, kami ke sawah. Sama sekali tidak ada firasat apapun, katanya.

Di tengah lelapnya tidur, Safrial terbangun saat merasakan goyangan gempa yang teramat kencang dan gerakannya naik turun, berbeda halnya dengan peristiwa gempa tektonik pada 2004 yang berujung dengan tsunami dimana gerakan gempa yang terasa oleh warga, secara mendatar.

Karena guncangan gempa yang mengocok-ngocok itulah, saya bangun dan mencoba memberitahukan Mustajabah yang pikiran saya semula masih ada di samping, paparnya.

Namun setelah diraba-raba dalam kegelapan. �Saat itu listrik pun padam,� katanya.

Safrial pun mencoba memanggil nama rekannya itu, "Mus..Mus, dimana?," tanya dia, dalam kegelapan ruangan masjid itu.

Dirinya baru menyadari jika rekannya sudah terjaga sebelumnya dan Safrial menyuruh rekannya untuk segera ke luar meninggalkan masjid. "Cepat ke luar," kata Safrial, mengutip omongan rekannya Mustajab.

"Kau saja yang ke luar dari masjid, biarlah saya tetap di masjid ini. Ini gempa," timpal pemuda berusia 23 tahun itu.

Ia berpikiran di saat gempa tektonik seperti itu maka masjidlah menjadi tempat yang paling aman. "Pikiran saya itu, kalau saya pergi ke luar dari masjid, maka bahayanya lebih besar," katanya.

Tak dinyana dalam hitungan detik seusai guncangan gempa itu dan Mustajab yang hendak ke luar masjid. Dirinya mendengar derakan keras dari atap masjid. "Derakan itu cukup kencang," sambungnya.

Belum juga mencapai pintu masjid, atap masjid yang terbuat dari coran beton itu untuk menyangga kubah berwarna hijau itu, sudah jatuh. "Saya saat itu, dalam posisi tiarap sambil beristighfar. Brukkk..brukkk... atap beton itu runtuh. Sayapun terus menyebut-nyebut nama asma Allah dan meminta Mustajab mengikuti doa-doanya itu," kata dia. 

Dalam keadaan gelap gulita itu, Safrial dan Mustajab tidak sadar telah terjebak dalam lorong sempit antara beton atap masjid dan lantai. Diapun memerintahkan rekannya untuk segera berdiri dan ke luar dari masjid. "Saat dia mencoba bangkit, kepalanya terantuk beton yang telah menutupi tubuhnya itu," kisahnya.

"Sayapun mencoba meraba dengan tangan dalam posisi tiarap itu, saya baru sadar kami benar-benar sudah tertutup beton. Semuanya gelap gulita," katanya.

Satu-satunya jalan yang dilakukan adalah meminta tolong kepada warga. Beberapa kali dirinya meneriakkan permintaan tolong namun sekeliling tetap sepi.

"Sekitar lima menitlah, saya bertahan di ruangan sempit itu. Akhirnya sejumlah warga ada yang mendengar dan mencoba mengeluarkan saya dan Mus dari celah-celah itu," katanya.

"Alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan umur panjang, saya berhasil dikeluarkan dari ruangan. Tubuh Mustajab sendiri untuk dikeluarkan terhitung sulit karena posisinya berada di celah sempit," katanya.

Bagian pinggang Mustajab diketahui patah sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. "Saat ini, dia dirawat di RSUD Sigli," kata salah seorang warga lainnya saat ANTARA mewawancarai Safrial.

Ia mengaku sampai sekarang masih trauma akan kejadian yang paling menyeramkan seumur hidupnya. "Saya benar-benar masih trauma, Bang," katanya.

Contohnya setiap ada gempa kecil yang sesekali masih menggoyang tempat tinggalnya. "Saya akan terkesiap," katanya.

Kendati demikian, ia menyebutkan semuanya adalah cobaan dari Allah SWT dan kita harus siap menghadapinya. "Itu cobaan dari Allah SWT kepada umatnya," katanya.

Dia bersama warga lainnya berharap dibangun kembali masjid itu agar memudahkan warga dalam beribadah.

Dalam musibah bencana gempa bumi tektonik kali ini memang tergolong unik karena mayoritas masjid di daerah itu rusak digoyang gempa, dan berbeda halnya dengan saat musibah besar tsunami pada 2004.

Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPBD) Kabupaten Pidie Jaya, Putih A Manaf, menyebutkan sebanyak 13 masjid di wilayahnya rusak dari sekitar 50 masjid yang ada.

"Dari data sementara terdapat 13 masjid yang rusak," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Syiar Islam Kabupaten Pidie Jaya, Nazir, menyebutkan jumlah masjid yang rusak parah mencapai 29 bangunan dan 28 rusak ringan.

"Itu dari keseluruhan masjid yang ada sebanyak 71 bangunan," katanya.

Oleh Riza Fahriza
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016