Jakarta (ANTARA News) - Program pencegahan KPK bukanlah kegiatan yang banyak diketahui masyarakat.

Bukan seperti aktivitas penindakan misalnya operasi tangkap tangan, pemeriksaan saksi hingga penahanan tersangka yang lebih disorot media, padahal soal pemberantasan korupsi harus dilakukan dari hulu hingga hilir.

Hilir pemberantasan korupsi adalah kegiatan-kegiatan di kedeputian Penindakan KPK sementara program-program di kedeputian Pencegahan KPK punya tanggung jawab di hulu dalam memberantas korupsi.

Program pencegahan tentu tak seperti salah satu argumentasi terdakwa kasus korupsi yaitu mencegah pemberian suap karena KPK sudah mengetahui ada niat untuk menyuap salah satu pejabat negara dari sadapan pembicaraan, tapi jauh lebih luas, rumit dan menyangkut kesejahteraan rakyat.

Salah satu program adalah koordinasi supervisi pencegahan (Korsupgah) yang telah dilakukan sejak Mei 2016 terhadap enam provinsi target yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua, dan Papua Barat serta dua daerah tambahan yaitu Bengkulu dan Jawa Tengah.

"Kami keliling-keliling biasanya meminta tanda tangan komitmen untuk melihat penerapan pengadaan berbasis elektronik (e-procurement), perizinan terpadu satu pintu (PTSP), APBD berbasis elektronik (e-budgeting), dan efektivitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Kalau empat hal itu sudah ada, lalu kami minta komitmen yang ditandatangani bupati dan walikota serta gubernur dilihat oleh anggota DPRD," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.

Setelah meminta komitmen, KPK menagih agar para pemimpin daerah itu membuat rencana aksi untuk mengerjakan keempat hal tersebut. Pelaksanaan e-procurement dibantu oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang-jasa Pemerintah (LKPP), e-budgeting dibantu Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP), PTSP dibantu BPKP dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedangkan APIP juga dibantu BPKP.

"Membuat komitmen mereka biasanya senang, tapi begitu diminta untuk membuat rencana aksi termehek-mehek. Kami harus memanggil Sekdanya datang ke sini dan meminta agar membuat rencana aksi sehari jadi karena sebelumnya mereka banyak alasan, mulai dari mati lampu sampai orang (yang mengerjakan) pindah," ungkap Pahala.

Tentu sebelum membuat komitmen dan rencana aksi, tim Korsupgah KPK sudah melakukan pengkajian dan pemetaan mengenai kapasitas masing-masing daerah. Semuanya dimulai dari momen pilkada serentak pada 2015 dengan mengambil 15 kabupaten-kota di Sumatera Utara, 8 kabupaten-kota di Banten dan 12 kabupaten-kota di Riau serta kabupaten-kota di lima provinsi lain.

"Dari 180 kabupaten-kota ternyata hanya 30 persen yang memahami e-budgeting, dari jumlah itu hanya 30 persennya yang benar-benar memakai e-budgeting, yang siap seluruhnya misalnya adalah Surabaya," kata Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang KPK) Wawan Wardiana.

Jenis program
Pada program pertama adalah pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik (e-procurement) yang tersentralisasi dengan menerapkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Mandiri.

"Di daerah, ternyata e-procurement masih menyebar di dinas-dinas dan masing-masing dinas juga melihara vendor yang berbeda dengan harga yang berbeda-beda sehingga harga barang di masing-masing dinas juga berbeda," ungkap Pahala.

Contoh paling bagus menurut Pahala ada di DKI Jakarta karena sudah ada ULP sendiri yang pegawai merupakan pegawai khusus dengan pekerjaan adalah hanya melakukan pengadaan barang dan jasa sehingga sangat terlatih dan paham harga dasar.

Namun saat ini daerah masih menunggu Mendagri untuk mengeluarkan peraturan Mendagri yang mengatur agar ULP tersentralisasi.

"KPK-LKPP-Kemendagri mau bertemu agar Mendagri mengeluarkan surat bahwa ULP Mandiri karena memang ada peraturan mendagri yang lama yang menyatakan bahwa struktur organisasi kabupaten tidak memungkinkan ULP mandiri. Padahal ada PP 18 yang memungkinkan ada reorganisasi agar birokrasi lebih ringkas," tambah Pahala.

Program kedua adalah Perizinan terpadu satu pintu (PTSP). Persoalan di daerah adalah memang ada satu gedung tempat mengurus berbagai izin tapi masyarakat yang ingin mendapat pelayanan harus mendatangi berbagai loket dari dinas-dinas yang berbeda sehingga izin tetap diproses secarater pisah-pisah.

"Padahal kami menginginkan kalau mau urus KTP, IMB, izin apa pun satu loket saja, tidak perlu ada loket lain, makanya disebut satu pintu supaya jangan bolak-balik. Sebagai gambaran, di Papua, sekdanya mengatakan untuk menyatukan dinas-dinas ini saja butuh waktu dua tahun karena ada dinas-dinas yang mendapatkan uang dari perizinan, sehingga komitmen sangat dibutuhkan di sini. Kalau niat harus dipaksa," jelas Pahala.

Program ketiga adalah APBD berbasis elektroni (e-planning atau e-budgeting). Maksudnya adalah APBD disusun melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai tingkat desa-kelurahan-kecamatan-kabupaten hinga penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS) secara terbuka dan runut.

"Tapi menurut sekda, di sana sudah ada pembagian jatah bupati, wakil bupati sehingga proyek-proyek sudah dibagi-bagi. Persoalannya alokasi tidak banyak untuk kepentingan publik tapi tergantung vendor-vendor yang tersedia. Kalau vendor untuk membuat trotoar ya dimasukkan trotoar, tapi kalau tidak butuh trotoar buat apa? Puskesmas malah tidak diberikan dana," jelas Pahala.

Saat memaparkan kondisi itu di hadapan anggota DPRD salah satu provinsi, tim KPK bahkan diprotes keras oleh anggota DPRD dengan beralasan Pekanbaru dan berargumen "Anda tahu kan kami membawa aspirasi siapa?"

"Padahal kalau mereka mau membawa aspirasi masyarakat, turun dong ke Musrembang, ini alasan yang selalu dipakai DPRD," tambah Pahala.

Program keempat adalah maksimalisasi fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Dua persoalan yang dialami adalah kompetensi personel APIP karena orang yang ditempatkan di inspektorat biasanya merupakan orang buangan dan masalah independensi karena APIP melapor ke bupati.

"Laporan dari APIP hampir tidak ada yang bisa dijadikan apa-apa karena struktur APIP di bawah gubernur-bupati dan sejajar dinas. Dinas yang banyak anggaran adalah pendidikan, kesehatan, Pekerjaan Umum (PU) dan mereka biasanya adalah tim sukses gubernur-bupati. APIP melapor ke bupati tapi bupati sampaikan biarkan saja karena tiga dinas itu memang cari uang dengan saya, habis sudah, jadi inspektorat tidak berfungsi," ungkap Pahala.

KPK pun bercita-cita agar APIP dibekali dengan kompetensi dan independensi. Kompetensi pertama adalah APIP dapat mengaudit dana desa dengan mengikuti langkah-langkah teknis yang disediakan KPK.

"Kedua kami ingin agar mereka bisa audit investigasi, jadi audit bisa dibawa ke KPK atau Kejaksaan," tambah Pahala.

Agar sistem benar-benar berjalan, KPK juga meminta penambahan indikator pemberian Dana Insentif Daerah (DID) ke Kementerian Keuangan. DID itu diberikan bila daerah memenuhi tujuh kriteeria yang bila seluruhnya dipenuhi daerah tersebut memperoleh Rp68 miliar.

"Kita minta ke Kemenkeu supaya kriteria ke-8 untuk daerah yang sudah memasang e-procurement, e-planning karena anggaran pada 2017 disediakan Rp7,5 triliun pada 2017. Ini dana gratis, tapi sepertinya baru bisa diterapkan pada 2018. Jadi kami berikan dukungan teknis, insentif, regulasi," tegas Pahala.

Hasil dan harapan
Pekerjaan ini memang pekerjaan jangka panjang. Baru ada 15 kabupaten dan kota di Sumut yang sudah menggunakan e-budgeting hasil pembinaan korsup pencegahan KPK.

"Untuk Papua dan Papua Barat itu susah sekali, seperti mendorong truk mogok karena harus ada pembinaan personil menyeluruh. Dari 29 kabupaten-kota Papua yang datang cuma 15, Papua Barat masih lumayan datang semua," ungkap Pahala.

Korsupgah KPK pun rajin mendatangi sesi kuliah Lemhanas bagi pemimpin daerah untuk memperkenalkan sistem ini.

"Kami minta untuk mendapat slot berbicara di Lemhanas untuk bupati-wali kota terpilih, jadi seperti sales panci agar bisa memasang sistem ini," jelas Pahala.

Hasil mungkin baru dapat dirasakan tahun depan dengan tiga provinisi Riau, Sumut dan Banten sudah mendapatkan pendampingan terus-menerus. Untuk mengevaluasi, para kepala daerah setiap bulan harus melapor secara tertulis mengenai kemajuan mereka dan setiap tiga bulan akan dilakukan evaluasi.

"Kalau dikunjungi ya kami langsung kunjungi, tidak perlu menunggu tiga bulan. Sampai kapan? Tidak terbatas waktunya, tapi mungkin kalau dilihat dua tahun sudah cukup karena ada delapan rekomendasi dimana satu rekomendasi ada empat rencana aksi, jadi ada 32 rencana aksi dan dibuat dalam dua tahun," jelas Pahala.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016