Jakart (ANTARA News) - Sejak pertengahan 2016, pemerintah membuat gebrakan dengan melaksanakan program amnesti pajak yang bertujuan untuk menambah penerimaan negara, repatriasi dana dari luar negeri, dan memperbaiki basis data perpajakan.

Hal ini dilakukan pemerintah karena pajak sebagai salah satu instrumen fiskal, realisasinya hampir tidak pernah mencapai target. Padahal, pajak sangat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan dan meningkatkan kinerja perekonomian.

Program amnesti pajak ini berlangsung mulai 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 atau selama sembilan bulan yang terbagi dalam tiga periode. Masing-masing periode menawarkan tarif tebusan untuk repatriasi maupun deklarasi yang berbeda-beda.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat realisasi uang tebusan amnesti pajak berdasarkan penerimaan surat setoran pajak (SSP) hingga 13 Desember 2016 mencapai Rp100 triliun atau sekitar 60,6 persen dari target Rp165 triliun.

Rincian penerimaan uang tebusan Rp100 triliun tersebut berasal dari pembayaran uang tebusan Rp96,2 triliun, pembayaran tunggakan Rp3,06 triliun, dan penghentian pemeriksaan bukti permulaan Rp530 miliar.

Penerimaan ini memperlihatkan dari segi pendapatan, amnesti pajak relatif berhasil menambah pendapatan negara. Namun, jumlah wajib pajak (WP) yang tercatat mengikuti program ini baru mencapai 492.247.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan jumlah WP yang ikut program amnesti pajak masih sedikit dibandingkan potensi yang ada, yaitu mendekati 22 juta, sehingga pesertanya harus lebih ditingkatkan.

Untuk itu, Sri Mulyani mengharapkan peserta amnesti pajak makin meningkat, baik WP orang pribadi maupun WP badan, terutama pada periode dua yang masih menawarkan tarif tebusan lebih rendah dibandingkan periode tiga.

"Kami berpesan kepada WP agar mengikuti periode dua, karena rate masih rendah dan masih ada waktu hingga Desember," katanya.

Proses sosialisasi pun telah dilakukan secara maksimal tidak hanya oleh institusi pajak, namun juga oleh Presiden Joko Widodo. Sasarannya tidak hanya para WP prominent (orang kaya) atau profesi tertentu, namun juga para pelaku UMKM yang selama ini belum memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat.

Sosialisasi itu juga dilakukan mulai dari mengadakan pertemuan dengan WP potensial di ruang pertemuan ber-AC hingga blusukan kepada para pedagang menengah kecil di pasar-pasar tradisional.



Kecilnya Repatriasi

Hingga pertengahan Desember 2016, DJP juga mencatat keseluruhan harta dari tebusan, berdasarkan penerimaan surat pernyataan harta (SPH) mencapai Rp4.002 triliun dengan komposisi sebanyak Rp2.870 triliun merupakan deklarasi dalam negeri, Rp988 triliun dari deklarasi luar negeri, dan Rp144 triliun adalah dana repatriasi.

Kecilnya dana repatriasi dari luar negeri yang baru mencapai Rp144 triliun ini harus menjadi perhatian khusus, karena semula tujuan awal program amnesti pajak adalah untuk mengembalikan modal dari luar negeri untuk kepentingan pembangunan.

Sri Mulyani juga mengakui dana repatriasi yang masih kecil ini dan akan mengupayakan peningkatan nilai modal yang masuk, melalui pendekatan komunikasi dengan para pengusaha yang masih menyimpan dananya di luar negeri.

"Kita berusaha menyakinkan bahwa menaruh uang di Indonesia bisa meningkatkan aktivitas ekonomi dan itu merupakan pilihan yang baik serta rasional," katanya.

Ia menambahkan perbedaan nilai tarif tebusan bagi repatriasi maupun deklarasi luar negeri seharusnya bisa menjadi insentif bagi pengusaha untuk mengembalikan dana dari luar negeri agar modal tersebut bisa bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Selain itu, pemerintah juga berupaya mengelola kebijakan dengan baik agar kondisi ekonomi dapat lebih positif dan menguntungkan bagi para investor agar tidak memiliki kekhawatiran secara berlebihan atas pemanfaatan dana repatriasi.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menambahkan dana repatriasi dari hasil program amnesti pajak saat ini sebagian besar masih parkir di bank, karena WP masih mempertimbangkan instrumen penempatan dananya.

"Mayoritas masih parkir di bank, hampir 90 persen dalam bentuk deposito. Tahun depan mudah-mudahan sudah clear (jelas). Karena sampai tahun ini repatriasi itu sampai Rp140-an triliun, yang sudah diparkir di bank sekitar Rp50 triliun," katanya beberapa waktu lalu.

Muliaman meyakini cepat atau lambat nantinya para WP akan menentukan sendiri penempatan dananya di instrumen investasi yang dianggap menjanjikan, seperti saham, obligasi, reksadana atau Dana Investasi Real Estate (DIRE).

"Saya pikir tinggal menunggu saja, karena nantinya bisa sangat fleksibel. Bisa ditanam di sektor riil, di surat berharga, pasar modal, dan lainnya," ujarnya sambil menambahkan dana repatriasi juga marak masuk pasar modal pada awal 2017.

Selain bisa ditempatkan di lembaga jasa keuangan, dana repatriasi memang juga dapat ditempatkan di sektor produktif lainnya seperti infrastruktur ataupun real estate yang bermanfaat untuk mendukung kinerja pembangunan.



Basis Data Perpajakan

Dari segi perbaikan basis data perpajakan, kecilnya jumlah WP yang mengikuti amnesti pajak memperlihatkan program ini dalam jangka menengah panjang belum sepenuhnya efektif. Untuk itu, pemerintah diharapkan tidak hanya berfokus pada kepentingan penerimaan sesaat.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan amnesti pajak sebaiknya tidak dianggap sebagai tujuan jangka pendek untuk mengisi kas negara, namun menjadi pembuka menuju reformasi perpajakan demi penguatan fiskal.

Menurut dia, partisipasi wajib pajak yang masih di bawah potensinya serta dana repatriasi yang belum maksimal, mengharuskan pemerintah untuk segera membuat peta jalan reformasi pajak yang lebih komprehensif.

Untuk itu, Yustinus menegaskan model reformasi pajak yang selama ini parsial dengan menyentuh level administrasi harus diperbaiki dengan menyentuh hingga level kebijakan maupun undang-undang.

"Tanpa dikemas tiga hal sekaligus kita akan tambal sulam dan berpotensi setiap tahun kita jatuh pada masalah yang sama," katanya.

Dengan kondisi saat ini, ia mengharapkan program amnesti pajak yang saat ini ditempatkan sebagai sumber penerimaan perlu difungsikan sebagai instrumen kebijakan dalam konteks mendesain ulang arsitektur fiskal di Indonesia.

"Penting artinya membangun trust antara wajib pajak dan pemerintah. Pajak harus menjadi instrumen bagaimana demokratisasi, pembangunan, termasuk inklusi menjadi niscaya dan terbangun dalam kebijakan fiskal kita," katanya.

Kepala Riset Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) B Bawono Kristiaji juga mengingatkan pemerintah untuk memanfaatkan momentum program amnesti pajak sebagai dasar meningkatkan kepatuhan dan perluasan pajak.

Menurut dia, sinyal positif program amnesti pajak merupakan modal besar untuk mencapai kinerja kepatuhan yang meningkat di masa depan dan peluang tersebut harus dimanfaatkan dengan baik.

"Perluasan basis data haruslah dilanjutkan dengan manajemen data yang terintegrasi dan mampu dioptimalkan untuk keperluan pemetaan potensi, verifikasi, data matching dan sebagainya. Data tersebut dapat dipergunakan pemerintah untuk intensifikasi lebih lanjut," ujar Kristiaji.

Selain itu, ia menambahkan, pemerintah juga harus mengirimkan sinyal mengenai penegakan hukum setelah program amnesti pajak berakhir pada Maret 2017.

Sinyal tersebut haruslah diiringi dengan komitmen dalam membangun kepercayaan publik serta memiliki semangat untuk memberikan pelayanan pajak yang lebih baik.

"Dengan demikian, setelah program amnesti pajak diharapkan tercipta kepatuhan pajak yang lebih kokoh baik secara enforced (dipaksa) maupun voluntary (sukarela)," ungkapnya.

Secara keseluruhan, kata Kristiaji, perluasan basis data dan upaya menjaga kepatuhan pajak dari partisipan program amnesti pajak memungkinkan terjadinya perubahan struktur penerimaan pajak yang lebih baik.

Melalui perbaikan basis data perpajakan, pemerintah bisa mengharapkan adanya penerimaan pajak yang konsisten dan kesinambungan fiskal yang terjaga di masa mendatang, karena porsi pembiayaan dari utang bisa mulai dikurangi.

Selain itu, putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (14/8) yang menyatakan program amnesti pajak tidak melanggar UUD 1945 bisa menjadi amunisi baru bagi pemerintah untuk mengawal kebijakan ini agar tetap berada dalam jalur yang benar.

Dengan putusan MK ini, masyarakat tidak memiliki keraguan lagi untuk memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan melalui program amnesti pajak guna memperbaiki catatan perpajakan masa lalu dan menjadi WP yang taat.

Melalui kepastian hukum yang kuat dan jelas, program amnesti pajak diharapkan benar-benar bisa bermanfaat bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera, apalagi kebijakan ini hanya berlaku sembilan bulan dan belum tentu terulang lagi di kemudian hari.

Oleh Satyagraha
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016