Jakarta (ANTARA News) - Hari ini genap dua pekan KPK mendapatkan Juru Bicara (Jubir) sekaligus Kepala Biro (Kabiro) Humas baru. Pada 6 Desember 2016, Ketua KPK Agus Rahardjo melantik Febri Diansyah menduduki jabatan yang sudah lowong sejak 2014 itu.

Sebelum Febri, Johan Budi Sapto Pribowo yang sekarang menjadi staf khusus bidang komunikasi Presiden Joko Widodo menduduki posisi tersebut sejak 2006.

Johan sudah menjadi jubir KPK sejak 2006, setahun setelah ia masuk ke KPK pada 2005 atau tiga tahun setelah KPK resmi berdiri pada Desember 2003. Setelah menjadi jubir, baru pada 2009 Johan menjadi Kepala Biro Humas KPK.

Artinya Johan langsung menjadi jubir KPK setahun setelah masuk lembaga itu tapi ia butuh empat tahun untuk menduduki jabatan struktural sebagai Kabiro Humas, meski Biro Humas pun baru lahir pada 2008.

Febri sendiri masuk ke KPK sebagai pegawai fungsional di Direktorat Gratifikasi pada 2013, sehingga ia sudah tiga tahun punya pengenalan terhadap lembaga itu, namun terkait isu pemberantasan korupsi, Febri sudah lebih lama mendalaminya.

Ia sebelumnya bekerja di Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu lembaga non pemerintah yang konsisten mendorong gerakan antikorupsi di Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan pada 2007-2013.

Tapi mengingat menjadi Jubir dan Kabiro Humas KPK adalah menjadi muka, mata dan telinga lembaga untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat melalui media massa mengenai apa yang dilakukan oleh KPK, apakah Febri yang bukan berasal dari latar belakang jurnalis itu paham mengenai bagaimana menjadi muka, mata dan telinga KPK?

Pria kelahiran Padang, 8 Februari 1983 itu ternyata sebelum masuk ke KPK pun gemar menulis di sejumlah media cetak seperti koran Kompas, majalah Tempo, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, hingga Jurnal Konstitusi dan Bunga Rampai Komisi Yudisial.

Atas ketajaman tulisan dan semangatnnya menggiatkan gerakan anti korupsi ia pun pernah diganjar Charta Politika Award untuk kategori aktivis/pengamat politik paling berpengaruh pada 2012 dan karya tulis ilmiah populer dan karya tulis jurnalistik BPK-RI pada 2013.

Saat dilantik, ayah tiga anak itu mengaku ingin menjalin komunikasi dengan wartawan agar pemberantasan korupsi tetap menjadi salah satu isu penting di media massa.

"Saya berharap komunikasi bisa lebih baik dengan teman-teman media, tapi tugas yang diberikan pada saya di biro Hubungan Masyarakat bukan saja dengan teman media tapi juga unsur di dalam. Tentu bagaimana komunikasi KPK keluar dan bagaimana menyampaikan informasi-informasi atau masukan-masukan terhadap KPK untuk internal kpk dan lainnya," kata Febri.

"Teman-teman media juga sudah biasa komunikasi sebelumnya, update berita dan segala macam. Kami terbuka, tentu saja, sampai 24 jam semaksimal mungkin akan update dengan teman-teman di luar. Nomor telepon saya ada, nomor telepon KPK juga jelas ada dan banyak saluran yang bisa digunakan," tambah pria lulusan Fakultas Hukum UGM 2002-2007 itu.


Pentingnya Jubir

Lantas mengapa jubir dibutuhkan untuk lembaga penegak hukum yang urusan utamanya adalah penegakan hukum?

Salah satu peran utama humas dalam pemberantasan korupsi adalah agar masyarakat tahu dan akhirnya ikut terlibat dalam pemberantasan korupsi sehingga masyarakat memberikan dukungan terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

"Mengenai keberhasilan KPK, biar masyarakat sendiri yang menilai tapi kalau dilihat sekarang, hampir semua orang tahu KPK. Masyarakat menjadi aware dengan upaya pemberantasan korupsi dan kontribusinya juga berasal dari biro Humas yang menyampaikan secara terus menerus lewat media," kata Johan Budi dalam wwancara beberapa waktu yang lalu.

Pengenalan itu terbukti saat KPK menerima Ramon Magsaysay Award pada 2013 karena karena kampanye KPK terhadap pemberantasan korupsi yang masif sehingga masyarakat sadar dan mendukung pemberantasan korupsi serta anggapan bahwa KPK menjadi "symbol of hope" karena KPK secara terus menerus melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan menanggung risiko apapun.

Kesadaran itu menjadi penting khususnya bagi masyarakat miskin karena masyarakat ekonomi kelas bawahlah yang paling rentan terhadap korupsi karena harus menghadapi pilihan berat apakah akan membayar suap untuk pelayanan dasar yang mereka butuhkan seperti untuk kesehatan dan pendidikan.

Namun bagaimana tetap membuat masyarakat tertarik untuk membaca dan mencermati pemberantasan korupsi ketika sejumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK belakangan belum menyasar tokoh-tokoh politik tingkat atas maupun pejabat pemerintah di pusat namun kerap menyasar pejabat pemerintah daerah maupun petugas hukum di daerah?

Menurut Jose Ugaz, seorang jaksa ad-hoc Peru yang pernah menangani kasus korupsi mantan presiden Peru Alberto Fujimori dan eks kepala intelijen Peru Vladimiro Montesinos pada periode 2000-2002 dan saat ini menjadi direktur Transparency International, caranya adalah dengan menunjukkan pentingnya keterlibatan publik dalam pemberantasan korupsi.

"Masyarakat kerap dijauhkan dari pelayanan dasar yang mereka danai melalui pajak. Pajak mereka masuk ke kantong-kantong tertentu dan masyarakat tidak menyadarinya hingga rumah sakit tidak becus melayani atau jalan-jalan rusak. Masyarakat hanya tahu bagaimana uang mereka dibelanjakan tanpa mendapat informasi untuk apa uang itu dibelanjakan dan di banyak negara masyarakat tidak mendapatkan akses informasi terhadap hal itu," kata Jose Ugaz dalam esainya berjudul "Peoples power: taking action to demand accountability" (2016).

Ketika masyarakat meminta transparansi dan akuntabilitas, mereka dapat membuat perbedaan. Masyarakat harus berpartisipasi penuh terhadap keputusan yang dapat berdampak pada kehidupan keseharian mereka. Bahkan ketika negara juga sudah memiliki berlapis-lapis peraturan mencegah dan memberantas korupsi, hukum bisa tidak benar-benar diterapkan.

Negara akan terbiasa kalah terhadap korupsi dan miliaran bahkan triliunan rupiah penerimaan negara tidak dapat dipertanggung jawabkan perginya hingga maraknya pencucian uang yang menyediakan gaya hidup mewah bagi mereka yang korup. Lalu bagaimana selanjutnya? Tekanan dari masyarakat menjadi kunci.

Teknologi baru membantu dapat mendorong transparansi ini sehingga memberikan akses bagi masyarakat biasa untuk mencari dan mengevaluasi informasi penting. Tidak ada alasan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mempublikasikan keuangan pusat dan daerah secara "online" dan membuat "platform" bagi masyarakt mencari data untuk tender, pajak dan berbagai pelayanan harian.

Kadang bagi masyarakat ide untuk mengubah sistem yang korup terlalu sulit untuk dipercaya sehingga mereka hanya menerima korupsi sebagai suatu hal yang biasa saja atau bahkan menjadi oli untuk melancarkan usaha ekonomi, namun keputusasaan inilah yang harus juga ikut dituntaskan KPK dengan menghadirkan budaya baru.

"Keputusasaan masyarakat terhadap sistem yang korup harus diubah menjadi keaktifan menolak kondisi status quo dengan menciptakan kesadaran dan mobilisasi mendorong transparansi publik, tapi pemerintah juga harus menegakkan hukum kepada para pelaku korupsi sehingga mereka mendapat hukuman sepantasnya," ungkap Jose.

Apalagi dalam satu penelitian menunjukkan masyarakat lebih kritis untuk mengevaluasi fakta yang berlawanan dengan keyakinan mereka dibanding apa yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan, sehingga keyakinan bahwa pemerintah dan penegak hukum bersih itulah yang harus dibangun agar masyarakat kritis terhadap ketidakberesan kinerja aparat.

Dan karena media menjadi sumber utama dari komunikasi yang potensial untuk menjangkau masyarakat dalam lingkup luas, maka media pun dapat membentuk opini publik terhadap hal tersebut termasuk dengan semakin seringnya suatu isu itu terekspose. Tujuannya agar masyarkaat semakin sering mengolah informasi itu dalam pikiran mereka serta mengkoneksikan isu itu dalam kehidupan mereka.


Langkah Selanjutnya

Lantas bagaimana pemberitaan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK di tangan jubir baru? Tentu hal itu belum dievaluasi, tapi harapan yang muncul adalah jubir dapat menciptakan semangat antikorupsi sebagai milik bersama masyarakat, melalui media massa.

Meski tentu ada sejumlah hal yang perlu dicermati dalam upaya tersebut.

"Ada hal-hal yang seharusnya tidak secara detail disampaikan ke publik menjadi biasa atau gampang dikeluarkan sehingga kadang bisa mempengaruhi upaya penindakan KPK apalagi perkembangan media sosial menjadi tantangan KPK untuk menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan informasi," kata Johan.

Selanjutnya KPK bisa saja menangani kasus yang melibatkan elit politik atau kekuasaan sehingga mendatangkan serangan balik ke KPK baik secara kelembagaan maupun kepada personil di KPK.

"Jadi perlu usaha lebih keras dari Biro Humas sebagai muka, mata, telinga, lembaga untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat untuk tetap proporsional menilai KPK, kalau yang tidak benar harus diluruskan, kritik yang membangun bukan menjatuhkan," kata Johan.

Sedangkan risiko pribadi terkena fitnah juga dapat terjadi saat menjabat sebagai jubir KPK. Risiko lain tentu berkurangnya waktu istirahat untuk menjawab ratusan pesan singkat atau telepon tanpa kenal waktu dari rekan-rekan pers padahal belum tentu jubir memiliki informasi yang ditanyakan sehingga butuh waktu untuk mencari informasi padahal wartawan terus mendesak.

Pada akhirnya, butuh suara keras namun upaya terus-menerus termasuk melalui pemberitaan di media massa untuk menguapayakan pemberantasan korupsi seperti yang disampaikan Jose Ugaz "It is the combination of our loud indignaiton and our quiet vigilance that will put an end to corruption, both grand and not so grand".

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016