Jakarta (ANTARA News) - Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus Muhammad Haniv mengatakan Google hingga saat ini belum menyerahkan laporan pembukuan atas iklan yang diterima dari Indonesia.

"Katanya dia mau beri pembukuannya, tapi masa diminta file elektronik sampai bulanan. Kalau tidak diberikan ini tidak benar, karena seharusnya ini bisa sehari saja," kata Haniv saat ditanya mengenai perkembangan pajak Google di Jakarta, Selasa.

Haniv mengatakan proses tawaran "tax settlement" atau negosiasi yang pernah diajukan pemerintah tidak menemui titik terang, sehingga DJP ingin meminta laporan pembukuan atas iklan agar bisa menentukan besaran pajak yang tepat dari Google.

Laporan pembukuan tersebut, kata Haniv, setelah diterima, akan dimanfaatkan oleh DJP untuk pengajuan angka terbaru hasil pemeriksaan bukti permulaan agar proses pungutan pajak terhadap Google menjadi lebih cepat.

"Bukti permulaan ini berdasarkan file elektronik kemudian dihitung pajak, lalu dikenakan denda 150 persen dari total pajaknya," kata Haniv.

Dari catatan akuntansi sementara yang dimiliki oleh DJP, maka Google melalui hasil pemeriksaan bukti permulaan ini bisa dikenakan pajak lebih dari Rp5 triliun, sudah termasuk bunga maupun denda.

"Untuk satu tahun pajak saja di 2015 dengan sanksi bunga bisa sampai Rp3 triliun. Ini berdasarkan buku yang diberikan dari bagian akuntansinya. Belum tahun pajak 2013 dan 2014," katanya.

Haniv mencurigai Google tidak mau terbuka terhadap laporan pembukuan tersebut, karena bisa dimanfaatkan oleh otoritas pajak dari negara lain untuk memungut pajak dari perusahaan teknologi informasi asal AS itu.

Ia juga mengakui seharusnya Google menerima saja "tax settlement" yang sebelumnya diajukan pemerintah, meski prosesnya harus terhenti karena angka pembayaran pajak yang ditawarkan Google terlalu rendah.

"Kalau bukti permulaan, pajaknya justru lebih besar dari angka tax settlement. Denda bunga kita 150 persen. Jadi seharusnya anda bersyukur," katanya.

Haniv menegaskan apabila laporan pembukuan tersebut tidak diterima, maka DJP paling cepat pada periode Januari 2017 berhak melakukan pemeriksaan pajak sepenuhnya (full investigation) dengan potensi denda hingga 400 persen.

"Kalau full investigation" itu berarti tidak ada niat baik dalam kerja sama dengan kita untuk diaudit. Tapi dalam tahap ini mudah-mudahan Google tahun depan mau memberikan data, meski risiko kena denda 150 persen," katanya.

Namun, ia mengharapkan dalam waktu dekat ada titik terang kejelasan mengenai pajak Google, termasuk nantinya apabila pemerintah kembali mengajukan tawaran "tax settlement" dengan angka pungutan pajak yang baru tanpa sanksi.

Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.

Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.

Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT, padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016