Tangerang (ANTARA News) - Potensi devisa negara dari lahan gambut Indonesia diperkirakan mencapai angka fantastis sebesar 8 hingga 16 miliar dolar AS per tahun, dengan asumsi harga sebesar 10 dolar AS per ton karbon.

"Asumsi harga 10 dolar AS per ton, masih dalam taraf standar. Sebab, harga karbon di pasar California sebesar 10-15 dolar AS per ton. Bahkan, di Swedia harga per ton karbon mencapai 168 dolar AS. Jadi potensi devisa negara dari lahan gambut sangat besar," ujar Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead saat ditemui di Kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, Jumat.

Menurut dia, potensi ini harus dioptimalkan sehingga Indonesia bisa mencapai beberapa target dan keuntungan sekaligus.

Pertama, Indonesia bisa mencapai target penurunan emisi karbon hingga 29 persen pada tahun 2030.

Kedua, Indonesia juga bisa memanfaatkan penurunan emisi karbon tersebut dengan memperoleh devisa hasil penjualan karbon kepada banyak negara di luar negeri. Dengan demikian, Indonesia sangat bisa menjadi pusat restorasi gambut dunia sekaligus mitigasi perubahan iklim.

"Jadi orang datang ke Indonesia tidak hanya belajar, tapi juga berkonsultasi. Intinya kita mengekspor ilmu, sumber daya manusia (SDM), dan karbon keluar negeri dalam bentuk penjagaan lahan gambut Indonesia yang tetap terjaga tingkat kebasahannya sehingga tidak terbakar," terang Nazir.

Langkah menjual karbon ke dunia luar, jelas Nazir, didasarkan pada Paris Agreement, dimana setiap negara menentukan target reduksi emisi karbon negaranya. Dan menjadi Undang-Undang di setiap negara yang ikut menandatangani Paris Agreement .

Berdasarkan data lembaga penelitian dunia, emisi karbon dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2015, berkisar antara 800 juta ton hingga 1,6 miliar ton karbon.

Nazir menambahkan, bahwa setiap 1 hektare (ha) hutan gambut memiliki simpanan karbon hingga 100 kali lipat dari hutan tropis.

"Artinya, dari target restorasi lahan gambut seluas 2,4 juta ha pada tahun 2020 mendatang, kita bisa bayangkan betapa besar penerimaan devisa negara dengan keberhasilan tersebut," ungkap Nazir.

Pewarta: RH Napitupulu
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016