Rangkaian sidang pengadilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dengan panggilan karib Ahok atas dakwaan penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dicermati dengan penuh seksama oleh masyarakat di dalam mau pun luar negeri.

Mereka yang dag-dig-dug menanti vonis hakim terhadap Ahok, Gubernur non-aktif DKI Jakarta itu, terbagi menjadi dua kelompok harapan yang bukan sekadar saling beda, namun bahkan bertolak belakang.

Kelompok yang satu mengharapkan Ahok divonis bersalah dan tentunya dihukum, sementara kelompok yang satu lagi mengharapkan Ahok divonis tidak bersalah, alias bebas.

Kedua kelompok harap-harap-cemas atau cemas-cemas-harap seksama mengikuti bahkan sampai turun ke jalan, demi mengawal proses pengadilan kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok.

Sampai saat naskah ini ditulis, belum diketahui keputusan hukum yang akan diambil Majelis Hakim PN Jakut terhadap Ahok, meski berbagai analisa sampai ramalan sudah ramai dipergunjingkan di warung kopi mau pun media-sosial.

Bahkan ada yang tidak melewatkan kesempatan untuk bertaruh secara tentu saja diam-diam demi tidak terjerat undang-undang anti-judi. Komentar-komentar juga cukup terkendali secara eling lan waspada agar tidak terjerumus menjadi komentar yang rawan ditafsirkan sebagai niat melakukan makar.

Meski saling silang pendapat, namun praktis segenap pihak sadar bahwa akhirnya pada kenyataan Ahok pasti akan divonis oleh majelis hakim PN Jakut.

Dua Kemungkinan
Apabila, sekali lagi apabila Majelis Hakim memvonis Ahok bersalah maka wajib dihukum, maka ibarat bisul meletus: suasana tegang pada kehidupan sosio-politik Nusantara diharapkan potensial mengendur untuk kemudian sama sekali lenyap.

Masyarakat Indonesia dapat kembali melakukan kegiatan kehidupan seperti sediakala sebelum terhebohkan oleh kasus dugaan penistaan agama.

Pers terpaksa mencari-cari masalah apa yang bisa dipermasalahkan demi kembali menghebohkan suasana sosio-politik yang senantiasa didambakan industri jurnalistik penganut mazhab "bad news is good news" mau pun sebaliknya.

Masalah menjadi lebih tidak sederhana, apabila vonis Majelis Hakim PN Jakut adalah Ahok tidak bersalah maka dinyatakan bebas.

Keputusan hukum untuk membebaskan Ahok pasti tidak memuaskan mereka yang mengharapkan Ahok divonis bersalah, meski berulang kali Ahok telah minta maaf dan menegaskan tidak berniat melakukan kesalahan bahkan sampai menangis.

Dua kemungkinan bisa terjadi apabila Ahok divonis tidak bersalah. Kemungkinan pertama: para penuntut akan bersikap taat hukum maka menuntut naik banding dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi yang Insya Allah perilaku dan peraturan hukum yang berlaku memungkinkannya.

Kemungkinan kedua: para penuntut kembali berduyun-duyun turun ke jalan demi memrotes keputusan Majelis Hakim Jakarta Utara.

Kedua kemungkinan sama-sama merupakan hak asasi masyarakat untuk menentukan sikap mereka sendiri. Kedua kemungkinan layak dianggap masih berada di dalam koridor demokrasi maupun hukum selama turun ke jalan untuk berunjuk rasa masih belum dilarang.

Jika unjuk rasa sudah dilarang dengan atau tanpa alasan, maka saya tidak perlu repot menulis dan anda tidak perlu repot membaca naskah ini.

Saran

Saya sadar bahwa saya pribadi tidak memiliki hak, kemampuan apalagi wewenang untuk memengaruhi apalagi memaksakan bentuk sikap masyarakat terhadap keputusan hakim membebaskan Ahok, yang mantan Bupati Belitung Timur itu.

Namun, mohon dimaafkan bahwa saya memberanikan diri untuk menyampaikan saran agar apabila Ahok divonis bebas, sebaiknya masyarakat jangan kembali turun ke jalan akibat risiko dampak negatif lepas kendali terlalu besar.

Secara empiris telah terbukti bahwa pada unjuk rasa dengan jumlah peserta berlimpah-ruah, senantiasa ada pihak-pihak tertentu berupaya melakukan penyusupan kekerasan demi merusak citra peradaban adiluhur bangsa Indonesia.

Citra Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Islam terbesar yang paling toleran di muka bumi masa kini, sebenarnya telah cemerlang terjunjung tinggi serta termantapkan oleh acara Shalat Jumat bersama nan-monumental terselenggara pada 2 Desember 2016.

Dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri menyampaikan saran agar teman-teman se-Bangsa dan se-Tanah Air Udara berkenan tetap konsekuen dan konsisten berjuang menahan diri untuk tetap bertahan di jalur hukum maka secara beradab mengajukan tuntutan naik-banding dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi demi bersama berupaya menegakkan keadilan di persada Nusantara.

Insya Allah, bangsa Indonesia tetap lestari layak menjadi suri-teladan sikap toleransi serta taat hukum bagi segenap umat manusia di planet bumi.

*) Penulis adalah seniman dan budayawan, senantiasa mendambakan persatuan-kesatuan Indonesi
a.

Oleh Jaya Suprana *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016