Jakarta (ANTARA News) - Setelah beberapa tahun tidak terdengar kabarnya, isu mengenai Rohingya kembali mengemuka dan menjadi pembicaraan komunitas internasional, sebagaimana masalah di bagian dunia lain seperti konflik di Turki, Yaman, Palestina, dan Irak.

Pemicunya adalah tewasnya sembilan penjaga perbatasan Provinsi Rakhine dengan Bangladesh pada 9 Oktober 2016 lalu, yang oleh pemerintah Myanmar, dilakukan oleh kelompok militan Rohingya.

Pihak militer pun melancarkan aksi balasan dengan penghukuman secara kolektif atas kelompok minoritas tersebut. Bahkan beredar kabar bahwa balasan militer Myanmar tidak hanya berupa penyiksaan, melainkan juga pemerkosaan.

Menurut laporan Human Right Watch, sebanyak 430 rumah di tiga desa berbeda milik kaum Muslim Rohingya di Propinsi Rakhine, sudah hancur jadi abu dan rata dengan tanah. Laporan tersebut semakin memperkuat pernyataan seorang pejabat PBB bahwa pihak militer Myanmar memang sedang melakukan operasi "pembersihan etnis" terhadap kelompok minoritas Rohingya.

Untuk menghindari dari target balas dendam, sekitar 10.000 muslim Rohingya dalam dua bulan terakhir melarikan diri ke Bangladesh.

Kelompok aktivitis hak asasi manusia juga menuduh bahwa pihak militer Myanmar juga melepaskan tembakan ke arah penduduk desa dari helikopter dan melakukan penangkapan secara semena-mena.

Di Provinsi Rakhine, terdapat sekitar satu juta kaum muslim Rohingya yang hidup dalam kondisi tertindas di antara moyoritas warga Myanmar yang menganut Budha. Meski sudah hidup secara turun temurun di Propinsi Rakhine, kelompok etnis Rohingya sampai sekarang tidak dianggap sebagai bagian dari warga Myanmar, tapi sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Malangnya lagi, di Bangladesh sendiri mereka juga tidak diakui sehingga ditolak memasuki negara asal nenek moyang mereka pada saat memerlukan tempat untuk berlindung.

Seorang aktivis hak asasi manusia yang berkunjung ke Rakhine bersama petugas dari PBB mengisahkan bagaimana dia mendengar cerita menyedihkan dari warga Rohingya yang tempat penampungan dalam kondisi sangat menyedihkan karena tidak bisa mendapatkan akses layanan kesehatan.

Setiap hari mereka hidup dalam kondisi ketakutan karena jadi sasaran kekerasan di tenda pengungsian yang sangat tidak layak untuk dihuni karena kotor. Bangkai tikus tampak mengambang hanya beberapa meter dari anak-anak yang berendam untuk menghindari sengatan hawa panas.

Anak-anak yang meninggalkan karena tidak mendapatkan layanan kesehatan, atau pun ibu yang harus menemui ajal saat melahirkan, sudah tidak lagi menjadi berita yang luar biasa bagi mereka.

Sejak Myanmar memperkenalkan undang-undang kewarganegaraan pada 1982, mereka yang dianggap sebagai warga Myanmar hanyalah yang masuk dalam kategori "ras nasional", yaitu mereka yang dianggap berdomisili di Myanmar sebelum 1824, yaitu tahun pertama pendudukan Inggris.

Pada sensus penduduk Myanmar 2004, kelompok minoritas Muslim dimasukkan dalam kelompok tersendiri yang disebut "Rohingya", tapi pemerintah kemudian mengubah kebijakan dan menyatakan mereka sebagai "Bengali" atau Bangladesh.

Akibatnya, kelompok minoritas tersebut sangat rentan terhadap sikap diskriminasi dan perlakukan tidak adil lainnya. Mereka tidak mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan atau lapangan pekerjeaan sebagaimana warga Myanmar lainnya.

Ketidakadilan yang mereka rasakan semakin parah karena hanya mendapatkan akses layanan kesehatan yang sangat terbatas.

Warga muslim Rohingya yang tidak tahan dengan kondisi tersebut memutuskan untuk melarikan diri sebagai pengungsi dengan kapal dari Teluk Bengal menuju Bangladesh, Thailand, Malaysia atau Indonesia, dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan dan masa depan yang lebih baik.

Bahaya yang mereka hadapi saat menyeberangi lautan dengan kapal kayu yang sarat penumpang digambarkan tiga kali lebih parah dibanding pengungsi yang menyeberangi Laut Mediteria. Saat berjuang melawan maut di tengah lautan, para pengungsi Rohingya tersebut juga menjadi mangsa para pedagang manusia dan penyelundup manusia yang menjadikan mereka sebagai sandera.

Tidak Berubah
Kemenangan bersejarah tokoh hak asasi manusia Aung San Suu Kyi dalam pemilu tahun lalu dan sekaligus mengakhiri 50 tahun kekuasaan militer, ternyata tidak berdampak dan tidak membawa perubahan signifikan terhadap nasib muslim Rohingya.

Delapan bulan sebelum hari pemilihan, pemerintah Myanmar ketika itu mencabut seluruh kartu pemilih sementara, membuat Muslim Rohingya kehilangan identitas diri dan kartu pengenal, sekaligus kehilangan hak untuk ikut memberikan suara.

Kekuasaan militer sampai sekarang masih tetap dominan dan perlakuan, perlindungan serta dukungan terhadap etnis Rohingya justru semakin buruk. Harapan kepada Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian tersebut untuk tampil membela hak-hak warga yang tertindas, juga ikut memudar.

Salah satu kekuatan yang bisa menolong muslim Rohingya terlepas dari penindasan dan mendapatkan hak mereka sebagai warga negara adalah kekuatan dari luar, yaitu komunitas internasional.

Sebanyak 70 anggota parlemen Inggris menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson agar pemerintah negara itu meningkatkan tekanan kepada Myanmar sehingga akses bantuan kemanusiaan ke Propinsi Rakhine dibuka.

Menurut mereka, minoritas di Myanmar juga mempunyai hak untuk hidup dalam suasana damai, dan Inggris bersama komunitas internasional harus mendengar suara mereka yang tertindas.

Di antara para pemimpin dunia, adalah Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang paling lantang menyerukan kecaman terhadap penindasan kelompok muslim Rohingya.

Meskipun pemimpin dari sesama negara ASEAN, Najib tampak tidak peduli bahkan ikut bergabung dengan ribuan demonstran dalam aksi solidaritas di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu.

Najib juga mengkritik Aung San Suu Kyi yang dinilai bungkam atas praktik genosida yang dilancarkan oleh militer Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya.

Apa yang dilakukan Najib pun mengundang protes dari pemerintah Myanmar karena Perdana Menteri Malaysia tersebut dinilai ikut campur dalam masalah dalam negeri negara tersebut.

"Saya tidak peduli. Apakah saya, pemimpin lebih dari 30 juta rakyat, diharapkan untuk menutup mata? Berdiam diri? Saya tidak akan melakukan itu," tegas Najib menanggapi protes dari pemerintah Myanmar.

Najib yang menjadi satu-satunya kepala negara yang ikut menghadiri aksi solidaritas sebagai bentuk simpati terhadap kondisi warga Rohingya, menegaskan bahwa Malaysia akan terus menekan negara-negara ASEAN untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan di negara anggota ASEAN itu.

Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan ikut terkena dampak pengungsi Rohingya, juga memberikan perhatian khusus dan melalui Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan pentingnya mewujudkan keamanan dan stabilitas di Propinsi Rakhine.

Retno yang bertemu Aung San Suu Kyi di Naypyidaw pada 6 Desember lalu menegaskan bahwa masalah inklusifitas, di mana semua masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama, menjadi kunci penyelesaian situasi di Rakhine. 

(T.a032/B/M038/M038) 

Oleh Atman Ahdiat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016