Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menjenguk tersangka kasus penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah, yang menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya datang untuk meminta izin kepada KPK untuk mengunjungi dua sahabat saya yang ditahan yaitu Pak Irman Gusman dan Pak Fahmi Darmawansyah. Saya ingin memberikan dukungan moril agar mereka sabar, tabah dan tawakal menghadapi musibah ini. Tentu ketersangkaan oleh KPK ini merupakan ujian dan cobaan," kata Din usai membesuk keduanya di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Din, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengatakan bahwa Fahmi adalah bendahara MUI periode 2015-2020 seperti yang tercantum di laman lembaga ulama tersebut.

"Memang ikut bendahara, tapi tidak pernah aktif. Sesungguhnya Beliau sendiri tidak bersedia. Tapi di MUI, dulu, beberapa pengusaha muslim diajak. Beliau tidak pernah ikut rapat. Jadi sebenernya nonaktif dan saya pikir, Beliau juga sudah mengundurkan diri secara formal," tambah Din.

Din mengatakan bahwa dia menganggap Fahmi sebagai adik. Ia juga menuturkan bahwa ketika Operasi Tangkap Tangan (OTT), Fahmi sedang berlibur bersama keluarga di Eropa dan rencananya baru pulang pada 29 Desember.

Ia mengaku kaget mendengar berita bahwa Fahmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

"Beliau kaget, mendengar dan mendapat berita itu maka Beliau bersegera pulang, sudah sekitar seminggu yang lalu. Bahkan dengan niat baik datang ke KPK walaupun belum ada surat panggilan, tapi hari itu juga dijadikan tersangka dan ditahan," ungkap Din.

Din mengatakan bahwa Fahmi memberi tahu dia mengenai duduk persoalan kasus tersebut.

"Beliau berniat membantu negara melaksanakan sebuah proyek pemasangan monitoring satelit di Bakamla, keamanan laut, yang tentu memerlukan modal. Maka perusahaan yang lulus lewat tender resmi beberapa bulan lalu itu membutuhkan modal. Pak Fahmi Darmawansyah sebagai pengusaha, pengusaha muslim berniat untuk membantu," tambah Din.

Din juga mengatakan bahwa PT Melati Technofo Indonesia (MTI), pemenang tender pengadaan tersebut, belum sepenuhnya dimiliki Fahmi.

"Belum resmi menjadi miliknya. Tidak benar bila disebut dia sebagai direktur utama PT Techno itu karena masih dalam proses akuisisi," jelas Din.

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Fahmi adalah direktur utama PT Merial Esa. Perusahaan itu pada 2007 pernah mengimpor 35 unit mobil pikap dari Thailand senilai Rp9,9 miliar selaku perwakilan Rahal International Pte Ltd dari Singapura. Dalam dokumen impor tercantum ambulans Isuzu OZ 4x4, sedangkan barang yang diterima mobil bak terbuka jenis SUV 4x4 Isuzu D-Max. Puluhan mobil itu sempat ditahan di Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok.

Selain ketidaksesuaian antara barang yang diterima dengan dokumen impor, juga ditengarai adanya keterlibatan salah satu kerabat Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal Djoko Santoso, dengan pemilik PT Merial Esa.

Kasus yang menjerat Fahmi bermula dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Eko Susilo Hadi dan tiga orang pegawai PT Melati Technofo Indonesia Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo di dua tempat berbeda di Jakarta.

Eko diduga menerima Rp2 miliar sebagai bagian dari komitmen bayaran Rp15 miliar, 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp200 miliar.

KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap. Danang hanya berstatus sebagai saksi.


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016